Jumat, April 11, 2008

Penciptaan Alam Semesta: Eksposisi terhadap Kitab Kejadian 1

EKSPOSISI KEJADIAN I
Judul Perikop:
PENCIPTAAN ALAM SEMESTA


Oleh: Bernat Siregar, M.Th

A. Pengantar
Kitab Kejadian merupakan kitab yang sangat penting. Kitab ini memiliki pengaruh yang sangat besar dalam rekonstruksi iman orang percaya karena bersentuhan dengan teori-teori ilmiah dan mitos-mitos penciptaan yang hampir dimiliki oleh semua agama-agama dunia. Kitab Kejadian memberi informasi yang sangat penting tentang asal-usul segala sesuatu, termasuk penciptaan manusia.
Kitab Kejadian 1 dapat disebut kidung pujian yang sangat indah untuk memuliakan Allah, Sang Pencipta. Bagian ini mendorong setiap insan yang percaya untuk memuliakan Allah melalui puji-pujian. Melalui harmoninya yang teratur, rasio kita dipacu untuk memikirkan Allah sebagai Sumber dan Pemelihara segala sesuatu. Dalam pasal ini, ditunjukkan kepada kita tempat manusia yang patut di dalam tujuan agung Allah yang mencakup seluruh ciptaan-Nya.
Pasal ini memiliki kedudukan yang strategis dalam satu kesatuan tema sebelas pasal pertama Kitab Kejadian (1—11), yakni pengungkapan keagungan Tuhan sebagai Pencipta dan Pemelihara segala sesuatu. Sebelas pasal pertama Kitab Kejadian ini memiliki tema yang mirip dengan mitos-mitos penciptaan. Latar belakang bagian terbesar Kejadian 1—11 adalah tanah dan kebudayaan Mesopotamia (disebut Babel; dan sekarang disebut Irak). Hal itu teracu dalam Pasal 2 yang menyebut sungai Tigris dan Efrat. Inilah Irak modern. Kej. 11:1-9 menyebutkan tanah Sinear, nama lain bagi negeri yang sama dengan Mesopotamia. Karena itu, tidak mengherankan apabila tema Kejadian 1—11, khususnya urutan puisi dalam pasal 1, mirip dengan cerita-cerita dari Mesopotamia tentang penciptaan. Misalnya, Riwayat Atrahasis (dikarang kira-kira 1600 SM) menceritakan tentang penciptaan dunia (bnd. dengan Kej. 1) dan suatu air bah yang besar (bnd. dengan Kejadian 6).
Suatu karya dari Babel yang lebih kemudian, Enuma Elish, juga menceritakan tentang penciptaan, yakni mulai dengan roh ilahi dan dunia yang belum berbentuk dan kosong. Cerita ini ditujukan untuk memuliakan ilah utama Babel, yakni Marduk, yang mengalahkan naga raksasa dari samudera, namanya Tiamat. Dalam karya ini dikisahkan, mula-mula terang muncul dari para ilah, lalu langit, tanah yang kering, benda-benda penerang, dan pada akhirnya diciptakanlah manusia. Sesudah itu, ilah-ilah istirahat dan bersukaria.
Cerita-cerita itu mungkin telah diketahui oleh umat Allah. Akan tetapi, kendati ada kesamaan antara Riwayat Athrahasis dan Enuma Elish dengan kisah penciptaan dalam Kejadian 1, namun ditemukan ciri khas yang sangat berbeda, yakni sifat pujian dan pengagunan kepada Tuhan. Ada pra-anggapan bahwa Kejadian 1 merupakan usaha menolak mitos-mitos penciptaan tersebut dengan memberi ciri teologi yang khas dan mutlak berbeda dengan ajaran teologis mitos-mitos tersebut.
Perbedaan yang sangat khas antara kisah penciptaan menurut Kitab Kejdian 1 dengan kisah Enuma Elish dijelaskan oleh David Atkinson sebagai berikut. Pertama, Enuma Elish menyebut banyak ilah, sedangkan Kejadian 1 memberitakan monoteisme (bnd. Mzm. 82), hanya ada satu Allah. Kedua, dalam kisah Enuma Elish dikatakan bahwa keberadaan roh ilahi maupun materi kosmik adalah sama-sama kekal, sedangkan Kejadian 1 memberitakan bahwa Allah benar-benar lain dari segala yang diciptakan-Nya dan keberadaannya mutlak bergantung kepada-Nya. Ketiga, dalam Enuma Elish: matahari, bulan, bintang-bintang, dan naga raksasa dari samudera dianggap ilah yang berkuasa, sedangkan dalam paparan Kejadian 1 bahwa semuanya itu melulu makhluk ciptaan. Keempat, Enuma Elish (dan pada umumnya kisah penciptaan dari Mesopotamia) mengatakan bahwa terang muncul dari para ilah, sedangkan Kejadian mengatakan Allah menciptakan terang dengan kuasa firman-Nya. Dengan demikian, dapat disimpulkan, walaupun cerita-cerita Babel/Mesopotamia dan Kejadian memiliki persamaan tema, amanat teologisnya sangat jauh berbeda. Kejadian memuji Allah sebagai Pencipta segala sesuatu, memberi hidup, memelihara, dan memuliakan kehidupan manusia, sedangkan kisah-kisah penciptaan Babel hanya menempatkan manusia sebagai penyedia makanan bagi para dewa.
Dalam penjelasan Henry M. Morris, istilah kejadian (genesis) memiliki makna yang sama dengan asal-usul (origin), dan Kitab Kejadian 1 menjelaskan enam asal-usul yang sejati dan dapat dipercaya tentang alam semesta (universe) dan kehidupan yang ada di dalamnya, antara lain: (1) kejadian alam semesta, (2) keteraturan dan kompleksitas, (3) sistem tatasurya (solar system), (4) atmosfer dan hidrosfer, (5) kehidupan di muka bumi, dan (6) penciptaan manusia. Pasal yang lain setelah Kejadian 1, memaparkan tentang berbagai asal-usul, antara lain: (1) pernikahan, (2) kejahatan, (3) perkembangan bahasa, (4) pemerintahan, (5) kebudayaan, (6) bangsa-bangsa, (7) agama, dan (8) umat yang terpilih. Kitab Kejadian berada dalam realitas dasar dari semua sejarah, termasuk perkembangan sains dan filsafat.
Banyak teka-teki tentang dunia yang tak terpecahkan dan tak kunjung terpecahkan. Kitab Kejadian tidak menerangkan semuanya karena Alkitab bukanlah kitab (kronologi) sejarah dan acuan data-data ilmiah. Ia hanya menjelaskan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu secara sistematis dan teratur hingga diciptakan-nya manusia sebagai mahkota atas semua ciptaan-Nya. Kejadian tidak mempersoalkan (detail-detail) bagaimana Allah menciptakan alam semesta serta detik-detik proses penciptaan tersebut. Misteri penciptaan ini barangkali terbatas pada penalaran sains yang secanggih apapun sehingga tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak mengagumi Sang Pencipta.
Kejadian 1 memiliki kesatuan yang utuh hingga Kejadian 2:4. Bagian ini menggambarkan tentang penciptaan awal.

B. Analisis
1. Bagian Pendahuluan: 1:1-2

Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air.

a. Penciptaan langit dan bumi: dari yang tidak ada menjadi ada
Kejadian 1:1 memiliki kedudukan yang sangat penting dalam keseluruhan pasal 1, karena merupakan rangkuman dari rangkaian penciptaan yang dituturkan dalam ayat-ayat berikutnya. Frase “pada mulanya” (merupakan pernyataan atau gagasan penegas yang berdiri sendiri. Menurut Donald Guthrie, et al., dalam bukunya Tafsiran Alkitab Masa Kini 1: Kejadian–Ester, jika pada mulanya merupakan awal atau kesimpulan dari seluruh tahap penciptaan, maka ayat ini bisa dbaca atau berfungsi sebagai judul. Maka, Allah menciptakan memaksudkan penciptaan yang mutlak dari yang tidak ada menjadi ada (ex nihilo). Kata kerja menciptakan, dalam teks aslinya adalah bara, dipakai hanya bila suatu tindakan adalah tindakan ilahi, dan hasilnya adalah baru sama sekali atau baru secara ajaib. Menurut David Atkinson, kata kerja bara juga menekankan kebebasan dan kekuasaan Allah. Dalam penafsiran ini, langit dan bumi yang diciptakan Tuhan dipandang dalam keadaan yang terdini, yang belum sempurna, namun sebagai suatu totalitas, suatu keseluruhan. Allah menciptakan langit dan bumi dari yang tidak ada menjadi ada tanpa kesukaran karena Ia mutlak bebas dan tidak terbatas dalam kedaulatan-Nya.
Kejadian 1:1, sebagai pendahuluan Kitab Kejadian, menekankan kebebasan mutlak Allah untuk menciptakan hal-hal yang tidak ada sebelumnya (creatio ex nihilo). Kitab Kejadian menentang gagasan mitos-mitos Babel, bahwa benda (materi) sama kekalnya dengan Allah; tidak ada sesuatu apa pun yang keberadaannya kekal kecuali Allah. Allah tidak tergantung pada keberadaan benda-benda seperti dalam pemahaman panteisme. Justru sebaliknya, segala sesuatu (semua benda/materi) bergantung pada Allah. Allah berkuasa mengadakannya dan sekaligus juga meniadakannya. Oleh karena itu, semua ciptaannya harus takhluk dan bersembah sujud kepada-Nya.
Berdasarkan paparan di atas, dengan mengatakan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi, muncul sebuah gagasan bahwa alam semesta terbuka bagi Allah; alam semesta terbuka bagi kemungkinan-kemungkinan baru, terbuka untuk diubah menjadi wilayah kemuliaan-Nya. Kejadian alam semesta, yang diringkaskan dalam sebuah ayat pendek dalam Alkitab, akan tetap menjadi misteri bagi siapa pun juga, baik bagi para teolog, filsuf, maupun saintis.

b. belum berbentuk dan kosong
Ungkapan ‘belum berbentuk dan kosong’ (tohu wavohu) menggema dalam Yer. 4:23 dan Yes. 34:11 sebagai ‘campur baur dan kosong’. Ungkapan ini menegaskan keberadaan bumi yang belum tertata dan belum memiliki bentuk (baca: kondisi) yang baik untuk dihuni oleh makluk hidup. Keadaan bumi yang belum berbentuk dan kosong menunggu sentuhan kreatif Allah. Kekosongan yang berbentuk itu juga dilukiskan sebagai gelap-gulita menutupi samudera raya (1:2) karena tindakan Allah untuk menyempurnakan ciptaan-Nya belum dikerjakan, namun akan dikerjakan.

c. Roh Allah melayang-layang
Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air (1;2b). Kata Ibrani ruakh bisa diterjemahkan angin atau roh. Alkitab TBI menterjemahkan ruakh elohim sebagai Roh Allah, bukan angin Allah. Kebanyakan ahli tafsir Alkitab mengibaratkannya seperti induk burung rajawali yang menggoyangbangkitkan isi sarangnya dan melayang-layang di atas anak-anaknya, untuk memaksa anak-anaknya yang belum akli balig itu memasuki kehidupan yang berjenjang dewasa. Menurut Kidner, dalam Atkinson, dalam PL ruakh mengacu kepada energi ilahi yang menciptakan dan memelihara. (Bnd. Ayub 33:4). Sama dengan hubungan induk rajawali dengan sarangnya, demikianlah Allah menyempurnakan ciptaan-Nya. Karena Allahlah yang menciptakan langit dan bumi, Ia sendiri pun berkuasa untuk meniadakannya, seperti induk rajawali menggoyangbangkitkan isi sarangnya. Dengan demikian, ungkapan Roh Allah melayang-layang, bukan hanya menegaskan kemahakuasan-Nya atas ciptaan-Nya, sekaligus juga kehadiran-Nya yang imanen dalam pemeliharaan ciptaan-Nya dan Ia sendirilah Sumber kehidupan itu..

2. Penciptaan: Hari Pertama sampai Hari Keenam

a. Jadilah terang (1:3—5)

Berfirmanlah Allah, “Jadilah terang.” Lalu terang itu jadi . . . dipisahkannyalah terang itu dari gelap . . . Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari pertama.

Menurut penulis, hari pertama yang disebutkan oleh 1:3—5 ini berhubungan dengan awal pekerjaan Allah dalam tindakan penciptaan, sebagaimana dijelaskan di atas; gelap gulita menutupi samudera raya, tetapi tindakan Allah melayang-layang di atas permukaan air menunjukkan bahwa Allah hadir di dalam ciptaan-Nya. Secara simbolis, dapat ditafsirkan: kalau Ia hadir, maka kegelapan akan menyingkir; kalau Allah telah memulai pekerjaan-Nya, maka tidak ada yang menghalangi kemahakuasaan dan keberdaulatan-Nya atas segenap alam. Jika terang yang dimaksudkan di sini berhubungan dengan benda penerang , maka makna kata terang dalam ayat 3 akan kabur. Jadi, terang yang dimaksud dalam ayat 3 adalah tindakan Roh Allah atas ciptaan-Nya dan tidak berhubungan dengan terang yang diakibatkan oleh benda penerang.
Sementara, kalimat ‘Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari pertama’, menggambarkan bahwa tindakan Allah (sudah) sempurna (complete). Ungkapan “Itulah hari ke . . .” merupakan formula dari rangkaian kerja Allah, bahwa Ia melakukan semua tindakan penciptaan tersebut secara sempurna, teratur, dan tidak dihalangi oleh apa pun.

b. Jadilah . . . (1: 6—25)
Allah menjadikan segala ciptaan-Nya tanpa bahan yang sudah ada sebelumnya. Allah sungguh-sungguh menciptakan cakrawala (hari ke-2), tumbuh-tumbuhan (hari ke-3), benda-benda penerang (hari ke-4), binatang-binatang (hari ke-5) tanpa materi (baca: bahan) yang sudah ada sebelumnya.
Kalau kita analisis dalam perspektif ilmiah, tampaknya urutan atau kronologi penciptaan sebagaimana disebutkan oleh Alkitab sangatlah tidak logis. Seperti yang sudah penulis sebutkan di atas, ungkapan “Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari ke . . .”. Kalimat ini tidak bertujuan untuk menjelaskan kronologi penciptaan secara ilmiah, tetapi secara pernyataan teologis bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dalam agenda Allah sendiri (yang tersembunyi dalam penelaahan sains) dan bahwa apa yang telah dikerjakan-Nya itu sempurna (complete; tidak memerlukan bantuan pihak lain – di luar diri Allah -- untuk mewujudkannya).
Kata Ibrani yom, seharusnya tidak diterjemahkan hari (dalam pengertian 1 x 24 jam) atau perubahan hari dalam kebiasaan Yahudi, yang diakhiri oleh terbenamnya matahari dan pagi mengawali hari yang baru. Kata Yom (hari) lebih menegaskan periodik teknis bahwa karya Allah dalam penciptaan sedang berlangsung secara dinamis dan progresif, bukan sistematitasi atau periodisasi sistematisasi terjadinya ciptaan.
Sebagai contoh. pertama, kalau kita jelaskan secara ilmiah, setelah Tuhan menciptakan terang, pada bagian akhir penjelasan penciptaan tersebut, disebutkan: “Jadilah petang dan jadilah pagi itulah hari pertama.” Bagaimana petang dan pagi terjadi jika bumi tidak berotasi pada porosnya dan dalam porosnya ia berevolusi terhadap matahari, benda penerang yang diciptakan pada hari ke-4? (Tentang pemakaian isitlah terang ini, penulis telah menguraikannya di atas). Kedua, bagaimana tumbuh-tumbuhan (diciptakan pada hari ke-3) hidup tanpa proses fotosintesis, yakni dengan bantuan matahari, benda penerang yang akan diciptakan pada hari ke-4? Pertanyaan ilmiah seperti ini membuat para saintis menertawakan paham Ortodoks yang melihatnya sebagai rentetan kronologis.
Menurut penulis, data-data Kejadian 1:3—25 tentang urutan penciptaan tidak perlu dipersoalkan secara tajam dalam tataran ilmiah. Alkitab bukanlah buku ilmiah atau pun buku sejarah, yang darinya kita membangun teori-teori ilmiah secara akurat dan terpercaya. Alkitab adalah buku yang berisikan karya penyelamatan Allah yang mencapai puncaknya dalam penebusan Kristus.

3. Penciptaan manusia (26—27)

Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita supaya mereka berkuasa . . . menurut gambar dan rupa Allah diciptakan-Nya ia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.

Penciptaan manusia merupakan klimaks dari rangkaian tindakan penciptaan Allah. Kitab Kejadian memberi gagasan yang sangat jenius bahwa (1) manusia adalah puncak dari semua karya penciptaan Allah, (2) manusia itu diciptakan segambar dan serupa dengan Allah; (3) semua yang telah diciptakan Allah diberikan kepada manusia dan berada dalam kekuasaannya.

a. Dicipta segambar dan serupa dengan Allah
Dari kesaksian penciptaan dalam kitab Kejadian, Allah menciptakan semuanya hanya dengan atau melalui firman. Allah hanya berfirman: “Jadilah…” (lihat Kejadian 1:1-25) dalam penciptaan binatang, tumbuh-tumbuhan, dan segenap alam semesta, maka semuanya jadi. Tetapi, manusia diciptakan Allah dengan buatan tangan-Nya sendiri dan menghembuskan nafas (Ibr. ruakh) kehidupan padanya, nafas (roh) Allah sendiri. Dari segala mahluk yang pernah diciptakan oleh Tuhan Allah, hanya manusialah yang dicipta menurut gambar dan rupa Allah. Berarti, manusia dicipta (Ibr. Asah) seperti Penciptanya, dengan kemungkinan keadilan, kesucian dan kebenaran.
Pernyataan bahwa manusia itu dicipta menurut gambar Allah dan seperti rupa Allah, ditemukan juga dalam Perjanjian Baru. Yesus Kristus disebut sebagai gambar Allah (2 Kor. 4:4; Kol. 1:15), dan sudah dijanjikan bahwa barangsiapa percaya kepada Allah akan dijadikan kembali menurut gambar-Nya dan akan serupa dengan Dia (1 Kor. 1549; 2 Kor. 3:18; Kol. 3:10).

b. Manusia sebagai mandataris Allah
Kejadian 1:26 menjelaskan: Allah menjadikan manusia itu, laki-laki dan perempuan, menurut gambar dan rupa Allah. Setelah Allah menciptakan mereka, Allah memberkati mereka dan memberi otoritas untuk menguasai dan menakhlukkan alam, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan segala sesuatu yang ada di dalamnya (ay. 28-30).
Allah menjadikan manusia itu seperti allah-allah kecil di bumi. Manusia yang diciptakan dari debu tanah itu dimuliakan-Nya dan dimahkotai-Nya dengan kemuliaan dan hormat. Tentang hal ini, Mazmur 8:4—7 melukiskannya sebagai berikut.

“Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang yang Kau tempatkan: apakah manusia sehingga Engkau mengingatnya? Apakah manusia, sehingga Engkau mengindahkan-Nya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kau letakkan di bawah kakinya; . . . .”

c. Manusia: makhluk rasional
Supaya dapat menjadi mandataris Allah di bumi, Ia memperlengkapi manusia itu dengan akal budi, daya cipta, dan kemampuan-kemampuan bersosial yang lain. Manusia adalah manusia karena ia adalah satu-satunya mahluk yang dapat mengenal kebenaran, yaitu melalui rasio. Manusia adalah satu-satunya mahluk yang dapat berpikir; binatang berpikir bukan karena rasionya, tetapi naluriah hidup (insting) yang diciptakan oleh Tuhan. Manusia juga menjadi manusia, karena ia dapat menjalankan keadilan, yaitu memiliki sifat hukum. Manusia adalah manusia karena ia adalah satu-satunya mahluk yang berkewajiban moral untuk mencapai tujuan kesucian. Supaya manusia bisa mencapai maksud dan tujuan Allah, Ia memberinya roh, yang mana binatang dan tumbuh-tumbuhan dan ciptaan lainnya tidak memilikinya. Roh menjadi sarana Allah untuk berhubungan dengannya. Tiga hal inilah yang membedakan manusia dengan binatang.

d. Manusia: laki-laki dan dan perempuan
Lebih daripada itu lagi, pernyataan tiga rangkap tentang ciptaan Allah dalam ayat 27 bukan semata-mata paralelisme puitis. Jelas, bahwa di situ terdapat penitikberatan yang disengaja, yang maksudnya sudah dapat disimak. Dua kali ditegaskan bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya, dan ketiga kalinya hunjukan terhadap “gambar ilahi” itu diganti dengan kata-kata ‘laki-laki dan perempuan’.
Kalau digabungkan keputusan ilahi (‘Baiklah Kita menjadikan manusia … supaya mereka berkuasa …’), kreasi ilahi (‘…maka Allah menciptakan…’) dan pemberkatan ilahi (‘Beranak-cuculah …; penuhilah bumi dan takhlukkanlah itu …’), titik beratnya agaknya diletakkan atas tiga kebenaran fundamental tentang mahluk manusia. Yaitu, bahwa Allah menciptakan (dan masih terus menciptakan) mereka menurut gambar-Nya. Bahwa Ia menciptakan (dan masih terus menciptakan) mereka sebagai pria dan wanita seraya mengaruniai mereka tugas bahagia untuk berkembang biak. Bahwa ia memberikan (dan masih terus memberikan) mereka kekuasaan atas bumi dan segala binatang yang ada di dalamnya.
Jadi, sejak dari permulaannya ‘manusia’ diciptakan sebagai pria dan wanita yang memiliki kedudukan yang sama sebagai ahli waris, baik atas citra ilahi maupun atas kekuasaan atas bumi. Pendapat ini juga didukung oleh William Dyrness, dengan mengatakan: “Laki-laki dan perempuan adalah mahkota ciptaan; mereka diciptakan untuk memerintah.” Tidak terdapat suatu hunjukan dalam natsnya bahwa salah satu kedua seks itu lebih besar keserupaannya dengan Allah daripada yang lain, atau salah satu dari kedua seks itu lebih besar tanggung jawabnya atas bumi dari pada yang lain. Tidak. Baik dalam hal ihwal keserupaan dengan Allah, maupun dalam hal ikhwal tanggung jawab atas pengelolaan bumi (yang tidak boleh disamakan satu satu dengan yang lain, meskipun antara keduanya terdapat kaitan yang erat) mereka berdua adalah dari awalnya sama-sama kebagian. Sebab, dua-duanya adalah sama-sama diciptakan oleh Allah dan serupa dengan gambar-Nya.

4. Sungguh amat baik
”Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: ”Beranakcuculah dan bertambah banyak . . . Maka Allah melihat semua yang dijadikan-Nya itu sungguh amat baik. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari keenam.

Allah memberkati manusia itu dengan segala yang ada di dalam alam semesta. Allah menyediakan makanan bagi manusia itu yang telah tersedia di dalam alam. Manusia harus berkuasa atasnya, termasuk pengelolaan ciptaan Allah.
Setelah manusia diciptakan oleh Allah, Ia melihat bahwa semuanya itu sungguh amat baik. Dalam rangkaian penciptaan pra-penciptaan manusia, Allah tidak mengatakan demikian. Manusia sebagai mandataris Allah memiliki tanggung jawab yang berat. Setelah manusia itu jatuh ke dalam dosa, tanggung jawab manusia sebagai mandataris Allah menjadi kabur. Banyak orang yang melihat dirinya tidak baik, berlawanan dengan pujian Allah atas semua segala yang diciptakan-Nya. Manusia adalah makhluk yang berpotensi untuk mensejahterakan dirinya dan juga melansungkan pengelolaan alam.


C. Aplikasi
1. Allah, Sang Pencipta patut dipuja dan disembah
Menurut penulis, data-data Kejadian 1:3—25 tentang urutan penciptaan tidak perlu dipersoalkan secara tajam dalam tataran ilmiah. Alkitab bukanlah buku ilmiah atau pun buku sejarah, yang darinya kita membangun teori-teori ilmiah secara akurat dan terpercaya. Alkitab adalah buku yang berisikan karya penyelamatan Allah yang mencapai puncaknya dalam penebusan Kristus. Jika Kejadian 1 menjelaskan tentang penciptaan, hal itu berarti bahwa umat Allah harus menyadari bahwa Allahlah yang menciptakan alam semesta dan segala isinya. Kisah penciptaan oleh Kitab Kejadian menyadarkan semua manusia bahwa ia sendiri adalah ciptaan yang harus memuliakan Pencipta-Nya.

2. Tanggung jawab manusia terhadap Tuhan, sesama, dan alam
Sebagai makhluk yang dicipta segambar dan serupa dengan Allah, manusia berperan sebagai mandataris Allah.

Tidak ada komentar: