Jumat, April 11, 2008

Orang Samaria yang Baik Hati: Eksposisi terhadap LUKAS 10:25—37

EKSPOSISI LUKAS 10:25—37


Orang Samaria yang Baik Hati

Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya: “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Jawab Yesus kepadanya: “Apa yang tertulis dalam Hukum Taurat? Apa yang kau baca di sana?” Jawab orang itu: “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Kata Yesus kepadanya: “Jawabanmu itu benar; perbuatlah demikian maka engkau akan hidup.”
Tetapi, untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: Dan siapakah sesamaku manusia?” Jawab Yesus: “Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati. Kebetulan ada seorang iman turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu, ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan.
Lalu, datang[lah] seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: “Rawatlah dia dan jika kau belanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali.
Siapakah di antara ke tiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” Jawab orang itu: Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Kata Yesus kepadanya: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”

A. Pengantar
Dari keempat Injil, hanya Lukaslah yang menceritakan perumpamaan tentang ‘orang Samaria yang baik hati’ ini. Lukas 10:25—37 ini menceritakan tentang sebuah kisah nyata perkacapan Yesus dengan seorang ahli Taurat mengenai syarat untuk memperoleh hidup yang kekal (ay. 25). Ayat 27—28 mengingatkan setiap orang percaya kepada Markus 12:28—34 dan Matius 22:34—40. Dalam cerita Markus, sikap ahli Taurat agaknya dihargai atau dipuji, sedangkan dalam cerita Lukas dan Matius, ia datang untuk “mencobai” Yesus. Ia menyebut Yesus sebagai Guru (Ing.: Master), atau Rabbi dalam bahasa Ibrani.
Melihat keseriusan pertanyaan ahli Taurat tersebut, Yesus dengan lantang mengacu kepada Hukum Taurat, yang sangat sakral dan sentral dalam agama dan adat istiadat Yahudi. Orang Yahdui telah lama menggabungkan Ul. 6:5 dan Im. 19:18 sebelum zaman Yesus. Kalau dibandingkan dengan Gal. 3;12, mungkin jawab Yesus tersebut terlihat legalistik, tetapi tidaklah demikian apabila dipertimbangkan dalam rangka seluruh ajaran-Nya.
Ahli Taurat itu tampak kehilangan gensi dengan diberikannya jawab ini, yang terdapat dalam setiap buku teks (baca: penjabaran Hukum Taurat), dan mencoba untuk mendapat prakarsa kembali dengan menuntut suatu definisi yang lebih tepat mengenai sesamanya manusia. Pengertian yang sangat fundamental akan siapa sesungguhnya sesama manusia dijelaskan Yesus dalam sebuah perumpamaan. Penulis mengamati dua hal yang ingin disampaikan Yesus melalui perumpamaan tersebut, sebagai berikut. Pertama, bagaimana seorang Yahudi menunjukkan cinta kasihnya kepada setiap orang, termasuk kepada orang Samaria. Kedua, bagaimana seorang Samaria pun juga mungkin lebih dekat kepada Kerajaan Allah daripada seorang yahudi yang saleh, tapi yang tak kenal belas kasihan.

B. Analisis
1. Pendahuluan: Cara untuk mendapatkan hidup yang kekal (ay. 25—28)
Dalam nats ini tidak disebutkan kapan dan di mana peristiwa itu terjadi.
Barangkali, Lukas menempatkan bagian ini dalam ‘masa kedua’ dari masa-bekerja Yesus, yang mulai dengan suatu cerita tentang orang-orang Samaria (9:51—56), karena perumpamaan ini pun juga adalah tentang seorang Samaria. Kata berdiri (Yun.: idou) dalam ayat 25 dapat berarti bangkit dari tempat duduknya, sehingga dapat dibayangkan suatu kejadian dalam sebuah rumah ibadat, tetapi dapat juga diterjemahkan: seorang ahli Taurat “tampil ke muka” (dalam suatu percakapan dengan orang banyak atau dalam sebuah rumah ibadat).
Pertanyaan yang diajukan oleh ahli Taurat ini mirip dengan yang terdapat dalam 18:18. Bagaimana istilah “hidup yang kekal” (Yun.: zoen aiwonion) diartikan oleh ahli Taurat, adalah sukar untuk ditentukan. Hidup yang kekal bukanlah pertama berkenaan dengan kuantitas hidup (lamanya hidup), tetapi dengan kualitasnya (macamnya atau mutunya). Dengan demikian, hidup kekal bukan berarti hidup-tanpa-akhir, tetapi hidup yang bermutu tinggi, yang diperoleh dengan persekutuan dengan Allah. Pada ay. 28, Yesus tidak menjawabnya dengan istilah “hidup kekal” (zoen aiwonion), tetapi berkata; “. . . perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup (κάι ζηση: and you will live).” “Engkau akan hidup”, artinya sama saja dengan hidup yang kekal (zoen aiwonin), namun tanpa penambahan kata “kekal”. Boland mendefinisikan hidup yang kekal sebagai mengalami hidup yang sejati dan tulen yang mengatasi hidup di dunia ini, atau hidup yang disifatkan oleh persekutuan dengan Allah yang ‘kekal’, yaitu berlainan sekali dari dunia ini dan kita manusia.
Ahi Taurat tersebut ingin mencobai Yesus akan pengetahuannya tentang kitab suci dan persoalan rabi-rabi Yahudi mengenai suruhan dan larangan yang penting dan kurang penting. Ia hendak memeriksa apakah jawaban Yesus sesuai dengan isi Taurat (Ibr.: Thora). Akan tetapi, Yesus tidak mau terjebak. Dalam dialog yang dikisahkan oleh Lukas ini, Yesus menjawab dengan meminta jawab dari ahli Taurat itu sendiri. Lalu, orang itu menjawab dengan rumusan, yang akrab disebut “Perintah Utama” (bnd. 18:18—23).
Tentang rumusan “kasih kepada Allah”, dalam ay. 27 terdapat empat kata (hati, jiwa, kekuatan, akalbudi) yang juga terdapat dalam Markus 12:30. Dalam Mat. 22:37 terdapat tiga kata (hati, jiwa, akalbudi). Latar belakangnya adalah bahwa dalam Ul. 6:5 dipergunakan tiga kata Ibrani (hati, jiwa, kekuatan) yang kata pertamanya dapat diterjemahkan dalam dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu kardia dan dianoia. Akibatnya dalam LXX, kata pertama dari Ul. 6:5 itu, menurut beberapa naskah diterjemahkan dengan kardia (jantung atau hati), menurut naskah-naskah lain dengan dianoia (kegiatan rohani, pikiran, isi hati, atau akalbudi). Ternyata bahwa istilah-istilah itu tidak dapat dipisahkan satu sama lain secara tegas. Oleh karena itu, tidak boleh menekankan perbedaannya, misalnya mengatakan: “Janganlah kita mengasihi Allah dengan hati kita, tetapi juga dengan akalbudi kita”. Manusia adalah satu kesatuan dari tubuh, jiwa, roh, akalbudi, perasaan, kemauan, dan seterusnya. Orang percaya harus mengasihi Allah dengan segenap keberadaannya.

2. Implementasi Perintah Utama: Perumpamaan tentang hakikat sesama manusia (ay. 28—35)
Siapakah sesamaku manusia?
Bagian pertama dari Perintah Utama itu tentulah begitu saja dapat disetujui oleh ahli Taurat tersebut, tetapi berlainan sekali halnya dengan bagian yang kedua, tentang kasih kepada sesama. Menurut Boland, terjemahan kata Ibrani sesama dari Imamat 19:18 dapat diterjemahkan dengan teman/kawan atau saudara (dalam arti luas) dan kata itu disamakan orang Yahudi dengan teman sebangsa (Im. 19:18a). Terjemahannya dengan sesama manusia (Yun.: mou plesion – [my neighour] - terj. LAI ) sebenarnya adalah terlalu luas, jika dipandang dari sikap yang lazim di antara kaum Yahudi. Menurut Im. 19:34 termasuk juga ke dalamnya orang asing tertentu, yaitu penduduk bukan-asli yang biasanya termasuk kepada golongan yang lemah secara sosial dan yang harus diberi perlindungan. Dalam penjelasan Boland, pada waktu belum ada timbul suara-suara yang mau memperluas pengertian “sesama” itu kepada sesama-manusia dengan tidak membedakan antara golongan sendiri dan “orang-orang luar”. Tentang soal siapa yang betul-betul dimaksud dalam Im. 10:18, 34 barangkali pada waktu itu sedang dipercakapkan oleh rabi-rabi Yahudi. Jadi, dapat dimengerti mengapa ahli Taurat itu mengemukakan pertanyaan yang kedua: “Siapakah sesamaku manusia?”
Sebenanya, pertanyaan: siapakah sesama manusia oleh ahli Taurat, dalam penuturan Lukas, merupakan usaha untuk membenarkan dirinya sendiri (justify himself). Barangkali maksudnya ialah: ia mau memperlihatkan bahwa ia tidak bertanya begitu saja dan bahwa pertanyaannya itu bukanlah pertanyaan yang bodoh. Bukankah ia seorang ahli teologi yang tahu soal-soal mana yang timbul dalam lapangan penafsiran kitab suci? Barangkali (kalau disederhanakan), maksud dari pertanyaannya yang kedua tersebut adalah: “Tetapi sampai kepada siapakah berlaku perintah/larangan dari Im. 19:18 itu?” Siapakah yang dimaksudkan di sana dengan istilah “sesama” atau “teman” atau “saudara” itu? Jadi, tampaknya ahli Taurat tersebut tidak mengenal pengertian (baca: hakikat) “sesamaku manusia”. Boland memberi komentar sebagai berikut.

“Berdasarkan pandangannya yang picik, ia mengemukakan pertanyaan yang picik: sampai kepada siapakah berlaku perintah untuk mengasihi orang-orang lain? Untuk menjawab pertanyaan itu maka Yesus menceritakan “perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati”.

Ada kemungkinan, munculnya cerita itu dalam benak Yesus karena pada waktu itu sering terjadi pembegalan yang hebat. Menurut cerita kuno, peristiwa itu terjadi kira-kira di tengah jalan dari Yerusalem ke Yerikho, di suatu tikungan dekat ke lembah. Seorang pemilik rumah penginapan berusaha menggaruk untung dari “orang Samaria yang baik hati” itu. Namun, dalam karangan Flavius Yosefus, pada zaman dahulu di jalan antara Yerusalem dan Yerikho sering terjadi pembegalan orang-orang yang sedang mengadakan perjalanan. Daerah itu sangat kondusif bagi penyamun-penyamun. Dalam jarak 27 km (Yerusalem—Yerikho) jalan itu menurun ratusan meter; dan pada dinding-dinding gunung terdapat gua yang banyak dipakai sebagai tempat persembunyian penyamun-penyamun.
Mengenai orang yang menjadi korban dalam cerita ini, kita boleh menyangkanya seorang Yahudi. Sesuai dengan maksud perumpamaan ini (sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian pengantar), kemurahan hati seorang Samaria adalah sesuatu yang kontras dengan persepsi orang Yahudi tentang orang Samaria. Bisa dibayangkan bahwa orang itu mempertahankan diri dengan hebat terhadap penyamun-penyamun, oleh sebab itu ia dipukuli setengah mati.
Dalam paparan Yesus, kebetulan lewatlah seorang iman, sesudah itu seorang Lewi (pembantu atau pelayan seorang iman). Berdasarkan kata “turun” dalam ayat 31, boleh dianggap bahwa mereka pun juga berjalan dari Yerusalem ke Yerikho; jadi sesudah memenuhi tugasnya di Bait Suci, mereka pulang ke rumah. Di kota Yerikho banyak tinggal imam. Barangkali itulah alasan pertama mengapa Yesus menyebutkan seorang imam, lalu seorang Lewi. Imam dan orang Lewi pada umumnya dihormati sebagai rohaniawan, dan banyak dari antara mereka tinggal di Yerikho. Seharusnya dari merekalah diharapkan belas kasihan kepada orang itu dan menolongnya. Tetapi, apa yang terjadi? Justru mereka tidak mengerti bahwa kasih kepada Allah dan kepada sesama adalah lebih berharga dari segala korban bakaran dan korban sembelihan (bnd. Mrk. 12:33).
Yesus tidak menerangkan mengapa sang iman dan seorang Lewi tersebut tidak menolong si korban. Barangkali mereka mengira bahwa orang itu sudah mati, sehingga mereka tidak mau menajiskan dirinya (Im. 211—3). Tafsiran ini memang tidak boleh dipertahankan, karena mereka sedang dalam perjalanan pulang ke Yerikho, bukan dari Yerikho ke Yerusalem. Atau, barangkali mereka tidak mau susah-susah mengahabiskan waktu untuk hal yang kurang begitu penting. Akan tetapi, apapun asumsi yang dibangun sebagai alasan mengapa sang iman dan orang Lewi tersebut tidak menolong orang itu, orang yang baru saja dirampok dan telah tergapar setengah mati itu membutuhkan pertolongan yang sangat mendesak. Namun apa yang terjadi? Pertolongan pun tidak muncul dari dua orang tersebut, seorang imam dan seorang Lewi. Sungguh sangat ironis dengan jabatan mereka.
Hal yang berbeda dari kedua orang tersebut, peristiwa itu ditanggapi dengan serius oleh seorang Samaria. Penyebutan orang Samaria ini pasti mengejutkan hati sang ahli Taurat. Ia melihat si korban; ia tidak berbuat seolah-olah ia tidak melihatnya, sekalipun barangkali si korban tersebut adalah seorang Yahudi. Ia merasa belas kasihan dan melakukan tindakan spontan; ia membalut luka-luka orang itu, sambil dibubuhinya lukanya dengan minyak zaitun yang dicampur dengan anggur. Lalu diangkatnya orang itu ke atas hewan tunggangannya, dibawanya sampai ke rumah tumpangan yang berikutnya dan merawatnya di sana. Karena pentingnya perjalanan orang Samaria tersebut, ia menitipkan si korban dan memberi jaminan finansial akan biaya perawatannya kepada pemilik rumah tumpangan. Begitulah cerita itu dikisahkan oleh Tuhan Yesus.

3. Jawaban ahli Taurat
(ay. 36—37)
Setelah menceritakan perumpamaan tersebut, Yesus bertanya kepada ahli Taurat: “Siapakah dari ketiga orang itu (imam, orang Lewi, orang Samaria) yang bertindak sebagai sesamanya terhadap orang yang kena samun di pinggir jalan itu. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sang ahli Taurat pun tidak menyebukan identitas personal dari yang telah bertindak sebagai sesama tersebut. Ia malah menjawab dengan menyebutkan predikat dari orang itu, yakni “orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya”. Yesus dengan lantang berkata: “Pergilah dan perbuatlah demikian.”

C. Refleksi
Dari paparan dialog tersebut Yesus tidak menjawab pertanyaan ahli Taurat itu secara langsung. Yesus juga tidak menjelaskan mengapa sang iman dan orang Lewi tidak melakukan hal seperti yang telah dilakukan oleh orang Samaria itu. Yesus tidak mau bersoal jawab secara teoretis dengan ahli Taurat itu mengenai objek/sasaran dari “kasih kepada sesama” (yakni mengenai kepada siapa kasih itu harus ditunjukkan), tetapi secara langsung mau berbicara tentang pelaku/subjek dari ‘kasih kepada sesama” (yakni mengenai siapa yang melaksanakan kasih itu kepada sesamanya).
Pertanyaan “siapakah sesamaku?” dengan sendirinya dipecahkan apabila seseorang betul-betul mau mencoba menjadi “sesama” terhadap orang lain dan bertindak sebagai “sesama” terhadap orang lain. Dalam hal itu akan nyata bahwa segala diskriminasi (baca: pembedaan berdasarkan perbedaan) suku, bangsa, induk bangsa/ras,. Agama, kebudayaan dan seterusnya adalah berlawanan dengan apa yang dimaksud Yesus. Sebab, orang Samaria yang tahu apa kasih kepada sesamanya, menolong juga lawan atau musuhnya. Perintah untuk mengasihi sesama kita atau perintah untuk menjadi sesama bagi orang lain, tidaklah hanya berlaku di kalangan orang-orang yang merupakan orang-orang sesuku, sebangsa, seiman, separtai, sesinode gereja, dan sebagainya, tetapi menghubungkan kita dengan sesama manusia kita.

C. Aplikasi
1. Hidup keagamaan tidak boleh dipecah-pecahkan dalam suruhan dan larangan yang tidak terhingga banyaknya, tetapi harus dipusatkan pada Perintah Utama.
2. Perintah Utama adalah suatu perintah dan sekaligus janji, sebab manusia harus hidup dan sunguh-sungguh akan hidup – artinya akan menemukan hidup yang sejati dan tulen – dengan jalan mengasihi Allah dan sesamanya.
3. kasih kepada Allah dan seama tidak boleh dipisahkan satu sama lain, dan yang satu tidak boleh menggantikan yang lain. Kita tidak dapat mengasihi Allah dan membenci sesama kita, dan kasih kita kepada sesama itu tidak bisa lepas dari kepercayaan kita kepada Allah yang telah lebih dahulu mengasihi kita.
4. Kita harus mulai dengan menjadi “sesama” dan bentindak sebagai “sesama” terhadap orang lain, dengan tidak mempersoalkan siapa dan di mana “sesama” kita itu
5. Kasih kepada sesama tidak hanya terdiri dari perasaan yang luhur dan perkataan yang muluk-muluk, tetapi harus menjadi nyata dalam perbuatan praktis.
6. Dalam hal ini tidak boleh dibuat perbedaan antara golongan sendiri dan “orang-orang luar”, sebab kata “sesama” itu harus diartikan “sesama manusia.”

Tidak ada komentar: