Kamis, Februari 28, 2008

Sejarah Penafsiran Alkitab

SEJARAH PENAFSIRAN ALKITAB
(Oleh: Bernat Jody A. Siregar, M.Th)



Kita percaya bahwa seseorang harus menafsirkan pesan-pesan Alkitab dalam konteks historisnya yang sewajarnya – sebuah pandangan intelektual yang diturunkan secara turun-temurun dari para pendahulu kita, baik Yahudi maupun Kristen, yang telah menafsirkan Alkitab secara sungguh-sungguh. Survei sejarah penafsiran Alkitab yang ringkas ini memiliki beberapa manfaat. Pertama, memperkenalkan persoalan pokok yang berhubungan dengan penafsiran Alkitab, yang mempersiapkan para mahasiswa untuk memahami pendekatan kepada isu-isu yang ditampilkan. Kedua, para pembaca menjadi peka terhadap tantangan dan kesukaran dalam mengontekstualisasikan pengajaran Alkitab pada masa kini. Ketiga, pengetahuan tentang sejarah penafsiran memupuk sikap kerendahhatian atas proses penafsiran Alkitab. Dengan demikian, kita berusaha untuk menghindari kesalahan penafsiran yang terjadi dalam sejarah.

Penafsiran Yahudi
Penafsir Alkitab yang pertama dalah mereka yang pertama-tama memiliki kitab-kitab tersebut, yakni orang-orang Israel kuno. Mereka mempelajari dan meredaksinya, dan kemudian disebut Kitab Suci orang Ibrani. Sebagai contoh, Kitab Ulangan adalah penafsiran ulang Musa atas hukum-hukum Allah Demikian juga dengan Kitab 1 dan 2 Tawarikh ditafsirkan ulang menjadi 1 dan 2 Raja-raja dari perspektif pasca pembuangan.
Setelah orang Israel pulang dari pembuangan, mereka lebih akrab dengan bahasa Aram Babilonia dibandingkan dengan bahasa Ibrani, seperti kitab suci mereka. Waktu Ezra mebacakan Hukum Musa, para iman menjelaskannya kepada umat tersebut dalam bahasa Aram. Menurut tradisi rabinik, inilah permulaan lembaga Yahudi baru, yakni Targum, yang merupakan terjemahan dan tafsiran kitab-kitab tersebut. Pada zaman intertestamental, orang-orang Yahudi mengakui tradisi Targum. Pada masa itu, para rabi dan ahli Taurat mengembagkan penafsiran Hukum untuk menyelesaikan berbagai persoalan hidup yang mengemuka. Tahun-tahun terakhir zaman intertestamental, dominasi kekaisaran Yunani dan Roma memaksa orang-orang Yahudi untuk menjabarkan identitas agamawi mereka kepada nuansa agama dan nilai-nilai budaya asing.
Pada zaman Perjanjian Baru, pekerjaan penafsiran yang lebih luas ini bersatu dalam tiga pendekatan yang berbeda terhadap Alkitab. Setiap penafsiran dikaitkan dengan pusat geografis kehidupan agama Yahudi dan sekolah tentang pemikiran yang berbeda.

Yudaisme Rabinik
Berpusat di Yerusalem dan Yudea, Yudaisme berusaha menonjolkan kepatuhan pada kitab suci Ibrani, khususnya Taurat, yang telah mengakomodasi budaya Yunani-Romawi. Pendekatan interpretatif Yudaisme rabinik ini terdiri dari dua bagian, yakni Halakah dan Haggadah. Yudaisme rabinik menghasilkan tiga karya sastra penting.
Misnah menjelaskan pengajaran lisan para rabi tersohor, khususnya Hillel dan Shammai. Tahun 200 AD, Misnah menghadirkan beberapa hukum individu yang disusun dalam enam pokok. Sekitar 50 tahun kemudian, dokumen yang lain disebut Abot. Abot ini mengajarkan hukum lisan yang diterima oleh Musa di gunung Sinai. Kebanyakan isinya adalah halakah. Berikutnya, Talmud Palestina dan Babilonia berisi penjabaran para rabi yang kemudian. Bagian-bagian Talmud ini berisi penafsiran dari Misnah.Kebanyakan isinya adalah haggadah.
Penafsiran Alkitab pada masa Yudaisme rabinik menunjukkan beberapa ciri yang berbeda. Pertama, sangat tergantung pada tradisi penafsiran rabinik. Misnah mengandung dua hal penting pengajaran hukum PL. Misalnya, Taurat mengharuskan orang-orang Israel supaya tidak bekerja pada hari Sabat, Misnah memecahkan konflik dengan mengacu pada tradisi rabinik. Kedua, para komentator sering menafsirkan Alkitab secara harfiah. Misalnya, Ulangan 21:18—21 dibuat menjadi sumber hukum dalam memecahkan pemberontakan seorang anak terhadap orangtuanya. Ciri utama penafsiran rabinik adalah praktik dari midrash.

Yudaisme Helenistik
Pada tahun 333, Aleksander Agung menakhlukkan kekaisaran Persia, termasuk Palestina. Ia dan para suksesornya menyebarluarkan kebudayaan Yunani atas semua jajahannya. Kebudayaan Yunani sangat mempengaruhi kehidupan komunitas Yahudi, sehingga menciptakan nuansa Yudaisme Hellenistik. Filsafat-filsafat Yunani mempengaruhi perkembangan iman Yahudi.
Pada tahun 200 SM, para ahli kitab Yahudi menghasilkan terjemahan Alkitab dalam bahasa Yunani, yang disebut Septuaginta. Intelektualitas Yunani mempengaruhi penerjemahan dan penafsiran Alkitab. Salah satu yang menonjol adalah pemikiran Plato. Para ahli kitab Yahudi mempergunakan filsafat Plato untuk menjelaskan penafsiran Alkitab. Salah seorang yang paling tersohor adalah Filo. Filo meyakini bahwa ada makna lain dibelakang tanda-tanda, angka-angka, dan lambang-lambang yang ada di Alkitab. Ia mengutamakan arti rohani, atau sesuatu yang dirohanikan maknanya. Dengan demikian, Alkitab ditafsirkan dengan pendekatan alegoris.

Komunitas Qumran
Mazhab Yudaisme ini tinggal di Qumran, bagian barat daya Laut Mati, sekitar tahun 150 SM – 68 AD. Mereka menganggap Yudaisme yang di Yerusalem telah sesat. Mereka melihat diri mereka sendiri sebagai generasi terakhir nabi-nabi alkitabiah dan menunggu Guru Kebenaran sebagaimana telah dinubuatkan oleh kitab suci.
Metode yang mereka pakai disebut pesher. Teknik penafsiran metode pesher ini dibedakan dalam tiga pendekatan. Pertama, perubahan dalam teks Alkitab. Mereka memiliki pembacaan teks tambahan di samping teks Alkitab; mereka mengubah terjemahan dari yang seharusnya, sehingga lebih indah dan mudah dipahami. Kedua, berusaha memutakhirkan nubuat dan kata-kata tertentu dalam Alkitab. Ketiga, pendekatan pemisahan teks. Mereka memisahkan kalimat-kalimat yang dianggap panjang. Pokok utamanya, mereka menafsirkan Alkitab dalam pendekatan kontemporer.

Periode Rasuli (30—100)
Para ahli kitab Kristen PB menafsirkan Alkitab dalam perspektif yang baru secara radikal, yakni dalam terang kemesiasan Yesus dan zaman baru akan kedatangan-Nya kembali. Mereka menafsirkan PL dalam pengharapan mesianis yang telah digenapi dalam Yesus Kristus. Penggenapan pengharapan Mesias dalam PB menjadi kunci penafsiran Alkitab, di mana Yesus dipandang sebagai pemberi Hukum Baru. Kristologi PL sungguh-sungguh digali oleh para penulis PB, misalnya Rasul Paulus.
Pada periode para Bapak Gereja, penafsiran Alkitab berpusat pada Kristus. Pokok-pokok dalam PL ditafsirkan atau dipahami secara tipologis. Dua kitab PB, Matius dan Surat Ibrani melakukan pendekatan penafsiran secara tipologis. Banyak hal peristiwa atau kejadian pada masa PL dipahami secara tipologis yang berpusat pada penggenapan mesianis.

Periode Patristik (100—590)
Pada masa bapak-bapak Rasuli, otoritas PL masih diakui dan menjadi satu-satunya kitab suci orang Kristen, seperti layaknya bagi Yudaisme. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya tradisi gereja sangat diperhitungkan dalam membangun doktrin tertentu.

Bapak-bapak Rasuli (100—150)
Periode Patristik dibagi dalam tiga bagian. Pertama, bapak-bapak rasuli, sekitar setengah abad setelah Yohanes meninggal. Beberapa tulisan yang sangat penting adalah Klement dari Roma, Ignatius, Polikarpus, penulis tak dikenal yang menyebut dirinya Barnabas. Beberapa tulisan yang sangat penting, yakni Didache, Sepherd of Hermas, dan Surat kepada Diognetius berada pada fragmen-fragmen yang beragam. Beberapa metode interpretasi yang dipakai oleh para bapak rasuli adalah tipologi. Mereka menggunakan tipologi untuk menghubungkan PL dan PB dalam memahami pengajaran tentang Yesus. Pada pihak lain, tipologi membantu penulis PB untuk mengajarkan kehidupan Kristen berdasarkan PL.
Kedua, pendekatan yang tidak kalah popular dibandingkan dengan tipologi adalah alegori. Alegori digunakan untuk (1) meneguhkan kredibilitas doktrin, dan (2) mengaplikasikan penagajaran kitab suci.
Ketiga, para bapak rasuli menunjukkan tanda-tanda kuno untuk prinsip penafsiran. Pendekatan ini ditolak pada masa reformasi. Selanjutnya, para bapa rasuli lebih memilih pendekatan tradisional untuk untuk mendapatkan pesan-pesan Alkitab. Gereja menganggap pendekatan ini sebagai pendekatan yang benar.

Aleksandria v/s Antiokia (150—400)
Pada masa bapa-bapa Gereja, ada dua poros yang mendominasi penafsiran Alkitab, yakni Aleksandria dan Anthiokia. Seorang sarjana Yahudi dari Aleksandria mengembangkan metode alegoris, yang diadopsi dari filsafat neo-platonis.
Bara gereja dari Aleksandria, bernama Clement, menggunakan metode yang populer di Aleksandria, yaitu metode neo-platonis yang dipergunakan oleh Filo. Klement mengajarkan bahwa Alkitab memiliki dua makna. Jika dianalogikan kepada keberadaan manusia, alegori memiliki makna harfiah (jasmaniah) dan makna rohani, sebagai yang tersembunyi dalam makna harfiahnya. Ia menganggap makna yang tersembunyi di belakang teks lebih penting dari makna harfiah.
Tokoh yang kedua adalah Origenes, bapa gereja dari Anthiokia. Menurut Origen, sebagaimana keberadaan manusia terdiri dari tubuh, jiwa, dan roh, Alkitab memiliki tiga makna, yakni memisahkan jiwa dan roh. Ia menambahkan makna moral (jiwa) sebagai petunjuk etika tentang hubungan orang-orang percaya dengan sesamanya. Tubuh dipandang sebagai hakikat gereja dan roh sebagai hubungan orang percaya dengan Tuhan.
Selajutnya, Origen melihat penafsiran harfiah harus dibuang untuk mendapatkan makna rohani sebagai prinsip kehidupan Kristen dan kebenaran doktrinal. Pendekatan alegoris Origenes yang ekstrim mendapat reaksi dari para pemimpin gereja pada masa itu. Sebagai penolakan terhadapnya, Gereja mengembangkan pendekatan gramatikal historis. Setiap bagian kitab suci dianalisis menurut gramatika dan kosa katanya. Tokoh utamanya adalah Theodore dari Mopsuestia (350—428) dan Theodoret (393—460). Khotbah-khotbah Yohanes Krisostomus (347—407) menunjukkan aplikasi dari hal ini.
Pendekatan alegoris Anthiokia ini ditolak secara meluas oleh Gereja. Theodore memisahkan teks PL dari pengharapan mesianis dan sejarah. Menurutnya, hanya 4 pasal Marmur (2, 8, 45, 110) yang menubuatkan inkarnasi Kristus. Theodore dan pembelajar di Anthiokia menolak metode alegoris dan pendekatan sejarah Alkitab. Pada pihak lain, mereka belum secara mutlak menolak alegori, namun lebih menonjolkan pendekatan tipologi.

Konsili-konsili Gereja (400—590)
Dengan pertobatan Konstantinus, kaisar Roma, politik memberi pengaruh yang besar dalam kehidupan Gereja. Ia memakasa Gereja menghindarkan perbedaan pemahaman dan mengajukan standarisai doktrin. Hal ini menimbulkan pertentangan oleh teolog Ortodoks.
Permulaan awal abad IV, Agustinus, mengajukan prinsip-prinsip atau kriteria untuk mendapatkan penafsiran Alkitab yang benar, yakni Pengakuan Iman (rule of faith; pesan yang jelas dari subjek yang Alkitab jelaskan), otoritas gereja (penafsiran tradisional gereja tentang teks), dan pengamatan teks secara seksama. Tokoh penting lainnya adalah Jerome (331—420). Ia menerjemahkan Alkitab PL dan PL dari bahasa Ibrani dan Yunai ke dalam bahasa Latin. Selanjutnya, gereja menggunakan terjemahan resmi ini sebagai acuan dalam memahami kebenaran doktrin.

Abad Pertengahan (590—1500)
Abad Pertengahan merupakan masa kegelapan dalam sejarah gereja. Gereja membedakan secara tajam antara awam dan para imam. Masa ini disebut masa kegelapan karena moral dan iman yang benar-benar gelap di mana kekuasaan Gereja melebar dalam segala aspek hidup masyarakat.
Ada tiga pendekatan dalam penafsiran kitab suci pada Abad Pertengahan. Pertama, pendekatan tradisional, yang diwarisi dari para bapa gereja. Pendekatan yang lain adalah alegori. Pandangan populer untuk menggunakan pendekatan alegori diringkasakan sebagai berikut.

Teks menunjukkan kita apa yang Allah telah lakukan.
Alegori menunjukkan kita iman yang tersembunyi.
Makna rohani memberi kita pola hidup rohani sehari-hari.
Anagogi menunjukkan kita di mana kita mengakhiri percecokan.

Pandangan praktis tentang Alkitab oleh para ahli dipahami sebagai berikut.
Harfiah : kota Yahudi kuno.
Alegoris : gereja Kristen
Moral : inti iman
Anagogis : kota surgawi.
Metode ketiga adalah penafsiran historis. Namun, beberapa sarjana Abad Pertengahan mengembangkan pendekatan skolastisme. Skolastisisme ini adalah kebangunan intelektual pra-Renaisans. Mereka bergulat akan hubungan antara iman Kristen dan akal manusia. Dua faktor yang membuat pendekatan ini menjadi subur adalah sebagai berikut. Pertama, Eropa mengalami keadaan politik yang relatif stabil dan para sarjana bergumul dengan pertanyaan yang harus dijawab secara akali. Kedua, orang Kristen menggemari filsafat Aristoteles sebagai alat mengembangkan doktrin.
Tokoh yang paling terkenal pada Abad Pertengahan adalah Thomas Aquinas, dengan sumbangsihnya yang masyur Summa Theologiae. Para mahasiswa akademi teologi menyintesiskan pendekatan filosofis dalam memahami doktrin Kristen. Metode analisis logis membuahkan iman yang rasional dan penjelasan yang sistematis. Summa Theologiae Thomas Aquinas diterima menjadi standar resmi teologi Gereja Katolik Roma.

Masa Reformasi
Reformasi Protestan mengantarkan revolusi dalam penafsiran kitab suci, yang sangat berpengaruh hingga kini. Reformasi Protestan didahului oleh penafsiran abad Pertengahan yang diprakarsai oleh teolog skolastik yang humanis dan membawa iman ke dalam penalaran rasional, namun tidak memberi manfaat terhadap pertumbuhan iman jemaat.
Salah satu tokoh penting Abad Pertengahan yang sangat mempengaruhi Reformasi Protestan adalah Erasmus. Ia menterjemahkan Yunani PB ke dalam edisi modern, sebuah terjemahan ke dalam bahasa Latin yang lebih bebas. Dengan demikian, otoritas Vulgata berkurang dalam menentukan doktrin.
Dua tokoh Reformasi yang memimpin reformasi dalam penafsiran Alkitab adalah Martin Luther dan John Calvin. Landasan penafsiran Reformasi oleh Luther adalah prinsip Sola Scriptura, hanya oleh Alkitab. Luther secara sungguh-sungguh menolak semua doktrin gereja yang bertentangan dengan Alkitab. Luther juga menolak penafsiran alegoris, karena penuh dengan spekulasi yang kosong. Ia juga menganjurkan penerimaan iluminasi Roh Kudus dalam penerapan firman Tuhan dalam kehidupan sehari-hari jemaat.
Calvin sangat menolak penafsiran alegoris. Sebagaimana Luther, ia juga menganjurkan pengalaman pribadi dalam memahami pesan-pesan Alkitab oleh pertolongan Roh Kudus. Calvin menulis banyak komentari Alkitab, yang kemudian hari banyak dipelajari oleh para pengikutnya untuk memahami pemikiran Calvin.
Setelah Reformasi Protestan ini, Konsili Trente membawa Katolik Roma untuk berbalik kepada penafsiran tradisional atas kitab suci. Artinya, Reformasi memberi pengaruh yang positif kepada Katolik Roma dalam penafsiran Alkitab.

Periode Setelah Reformasi (1650—1800)
Reformasi bukan hanya pergerakan revolusioner yang ditimbulkan oleh akhir Abad Pertengahan. Renaisans (1300—1600) mencirikan kelahiran kembali seni dan filsafat Yunani dan Roma Kuno. Ketertarikan kepada bahasa Ibrani dan Yunani berasal dari semangat Renaisans. Baik Renaisans maupun Reformasi mempengaruhi penafsiran Alkitab pada masa setelah Reformasi.
Semanagat Renaisans melahirkan pergerakan intelektual penting, yang disebut rasionalisme. Rasionalisme menganggap akal manusia memiliki otoritas yang dapat dipercaya dalam menentukan kebenaran. Akar rasionalisme berasal dari pemikiran Erasmus. Dalam pelayanan gerejawi mereka menekankan penalaran akl budi untuk membangun iman Kristen.
Tiga pemikir yang lain adalah Thomas Hobbes, Richard Simon, dan Bernard Spinoza. Dalam bukunya Leviathan, Hobbes mengatakan bahwa Pentateukh ditulis setelah zaman Musa. Richard Simon dalam bukunya Critical History of the Old Testament mengatakan bhawa PL merefleksikan sebuah kebingungan dalam kronologi sejarah. Spinoza dalam bukunya Tractacus Theologico-Politicus menekankan keutamaan akal budi dalam penafsiran Alkitab.
Dengan demikian, periode setelah Reformasi membawa fragmentasi dalam penafsiran Alkitab. Pada satu pihak, orang-orang pietis mencari Alkitab karena kehausan jiwa dan rohani mereka, namun pada pihak lain para rasionalis mengaburkan iman ke dalam penalaran akal budi.


Periode Modern
Abad Kesembilan-belas
Abad kesembilan-belas menandai revolusi ilmiah dalam ilmu pengetahuan. Dua tokoh yang paling berpengaruh adalah filsafat Frederick Hegel dan teori evolusi Charles Darwin. Para sarjana Alkitab menafsirkan Alkitab dalam pendekatan positivis, artinya secara ilmiah. Pendekatan mereka disebut pendekatan kritis sejarah (the historical-critical method) atau istilah lainnya kritik sumber (source criticism). F.C. Baur, tokoh utama source criticism. Misalnya mengatakan bahwa beberapa bagian PB ditulis pada abad II, bukan pada masa rasul-rasul tersebut.
Julius Welhaussen, seorang ahli PL, membagi PL dalam empat sumber pokok. Alasananya adalah (1) Musa tidak menulis Pentateukh, (2) Hukum Taurat diberikan bukan pada masa mereka, tetapi setelahnya, (3) sejarah Israel harus dibedakan dari narasi PL.
Akhir abad ke-19, seorang sarjana Jerman Adolf von Harnack, dalam bukunya What is Chrsitianity, merumuskan teologi liberal yang mendominasi Protestanisme dalam penafsiran Alkitab. Harnack merumuskan tiga bagian yang esensial dari agama Yesus, antara lain: (1) kedatangan Kerajaan Allah, (2) kebapaan Allah dan nilai keterbatasan jiwa manusia, dan (3) perintah kasih.
Welhaussen dan Harnak telah membawa iman Kristen dalam kritisasi sejarah akan otensitas iman Kristen, yaitu membuat iman Kristen sebagai objek penelitian sejarah. Pertanyaan yang sangat esensial dari mereka adalah: jika Yesus sendiri tidak pernah hadir dalam sejarah, bagaimana kita membangun iman Kristen di atasnya?

Abad Keduapuluh
Abad kesembilan-belas mewariskan pendekatan teologinya atas penafsiran kitab suci pada abad keduapuluh. Pokok yang mereka bedah adalah sejarah agama-agama (history of religions) dan kritik bentuk (form criticism). Teolog abad kedua-puluh menyelidiki sejarah agama-agama kuno untuk mencari persamaannya dengan agama Israel kuno. Kritik bentuk adalah metode penafsiran sastra terbaru. Mereka menyelidiki dan membagi pasal tertentu dalam bagian-bagian pendek tertentu secara kritis. Mereka menekankan setting budaya pada bagian-bagian Alkitab tersebut secara berbeda-beda.


Setelah Perang Dunia I
Peristiwa yang membawa malapetaka Perang Dunia I telah menghancurkan optimisme yang naïf dari teologi liberal. Teologi liberal sangat bertolok belakang dengan kebutuhan iman orang percaya.
Tokoh pertama adalah Karl Barth, seorang teolog dari Swiss. Dalam bukunya Tafsiran Roma, ia menyalahkan liberalisme dan mengutamakan pesan-pesan Alkitab atas kebutuhan manusia. Dalam bukunya yang sangat terkenal Church Dogmatics, ia menekankan penafsiran yang alkitabiah untuk memperkaya teologinya.
Tokoh kedua adalah Rudof von Harnack, seorang teolog yang sangat dipengaruhi oleh filsafat eksistesialisme Kirkegaard. Bultman mengaplikasikan metode kritik bentuk dalam menyampaikan pesan-pesan Alkitab. Ia membedakan antara “Yesus sejarah” (person who actually lived) dan “Kristus iman” (person in Christian preaching). Untuk melihat pesan-pesan Alkitab, Barth memakai metode demitologisasinya, sehingga pesan-pesan Allah dalam Alkitab ditemukan. Ia sangat menekankan pesan-pesan Alkitab untjuk konteks hidup masa kini.
Bultman menggunakan hermeneutika eksistensialisme. Ia menekankan bahwa Alkitab menjadi wahyu, jika pesan-pesannya disampaikan dalam keberadaan hidup manusia pada zamannya. Bersamaan dengan Barth, mereka berdua mengembangkan teologi krisis yang kemudian disebut Neo-ortodoksi, atau teologi dialektis.
Emil Brunner juga memiliki asumsi yang kurang lebih sama dengan mereka. Pertama, Allah adalah subjek, bukan objek. Alkitab tidak dapat mengakomodasi semua pengetahuan tentang Allah. Ia hanya dikenal melalui pengalaman yang personal. Kedua, Allah adalah transenden dan Ia memakai mitos untuk menyampaikan wahyu bagi manusia

Setelah Perang Dunia II
Perang Dunia II mempengaruhi teolog-teolog dalam menafsrkan Alkitab. Childs, teolog Amerika, mempublikasikan Pergerakan Teologi Alkitabiah. Ia mempromosikan refleksi yang positif atas teologi dan Alkitab.
Tiga model penafsiran yang berkembang setelah Derang Dunia II adalah teologi ortodoks, penafsiran baru Bultmanian, dan canon criticism. Menurut Childs, ada lima penekanan yang menandai pergerakan tersebut, antara lain (1) penemuan kembali dimensi teologis Alkitab, (2) kesatuan dari keseluruhan Alkitab, (3)wahyu Allah dalam sejarah, (4)pembedaan pola pikir kedua Perjanjian (Alkitab), (5) pemahaman Alkitab dalam budaya kuno.
Kedua, murid-murid Bultman mengembangkan metode herneutika baru (new hermeneutics). Mereka menekankan studi bahasa asli Akkitab dan memahaminya dalam pengalaman hidup orang percaya. Beberapa keuntungan dari hermeneutika baru Bultmanian ini adalah (1) menstimulasi sebuah pergerakan yang segar refleksi teoretis adalah subjek, (2) tujuan pembelajaran teks Alkitab adalah pembaca dalam dimensi kehidupannya, (3) Kitab Suci sangat berhubungan dengan keberadaan hidup orang percaya yang seutuhnya, dank arena itu harus dimengerti dalam pendekatan kontemporer.
Ketiga, gerakan teologi alkitabiah. Mereka menekankan metode kanon kritis. Mereka memandang otoritas Alkitab, yang mana Allah telah menyapa manusia dalam sejarah Yahudi dan komunitas Kristen. Sebagai kesimpulan, abad kedua-puluh telah membuahkan berbagai ragam penafsiran dan refleksi filosofis dalam penafsiran Alkitab.

Tidak ada komentar: