Jumat, April 11, 2008

Orang Samaria yang Baik Hati: Eksposisi terhadap LUKAS 10:25—37

EKSPOSISI LUKAS 10:25—37


Orang Samaria yang Baik Hati

Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya: “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Jawab Yesus kepadanya: “Apa yang tertulis dalam Hukum Taurat? Apa yang kau baca di sana?” Jawab orang itu: “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Kata Yesus kepadanya: “Jawabanmu itu benar; perbuatlah demikian maka engkau akan hidup.”
Tetapi, untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: Dan siapakah sesamaku manusia?” Jawab Yesus: “Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho; ia jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati. Kebetulan ada seorang iman turun melalui jalan itu; ia melihat orang itu, tetapi ia melewatinya dari seberang jalan. Demikian juga seorang Lewi datang ke tempat itu, ketika ia melihat orang itu, ia melewatinya dari seberang jalan.
Lalu, datang[lah] seorang Samaria, yang sedang dalam perjalanan, ke tempat itu; dan ketika ia melihat orang itu, tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ia pergi kepadanya lalu membalut luka-lukanya, sesudah ia menyiraminya dengan minyak dan anggur. Kemudian ia menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: “Rawatlah dia dan jika kau belanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali.
Siapakah di antara ke tiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu?” Jawab orang itu: Orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya.” Kata Yesus kepadanya: “Pergilah, dan perbuatlah demikian!”

A. Pengantar
Dari keempat Injil, hanya Lukaslah yang menceritakan perumpamaan tentang ‘orang Samaria yang baik hati’ ini. Lukas 10:25—37 ini menceritakan tentang sebuah kisah nyata perkacapan Yesus dengan seorang ahli Taurat mengenai syarat untuk memperoleh hidup yang kekal (ay. 25). Ayat 27—28 mengingatkan setiap orang percaya kepada Markus 12:28—34 dan Matius 22:34—40. Dalam cerita Markus, sikap ahli Taurat agaknya dihargai atau dipuji, sedangkan dalam cerita Lukas dan Matius, ia datang untuk “mencobai” Yesus. Ia menyebut Yesus sebagai Guru (Ing.: Master), atau Rabbi dalam bahasa Ibrani.
Melihat keseriusan pertanyaan ahli Taurat tersebut, Yesus dengan lantang mengacu kepada Hukum Taurat, yang sangat sakral dan sentral dalam agama dan adat istiadat Yahudi. Orang Yahdui telah lama menggabungkan Ul. 6:5 dan Im. 19:18 sebelum zaman Yesus. Kalau dibandingkan dengan Gal. 3;12, mungkin jawab Yesus tersebut terlihat legalistik, tetapi tidaklah demikian apabila dipertimbangkan dalam rangka seluruh ajaran-Nya.
Ahli Taurat itu tampak kehilangan gensi dengan diberikannya jawab ini, yang terdapat dalam setiap buku teks (baca: penjabaran Hukum Taurat), dan mencoba untuk mendapat prakarsa kembali dengan menuntut suatu definisi yang lebih tepat mengenai sesamanya manusia. Pengertian yang sangat fundamental akan siapa sesungguhnya sesama manusia dijelaskan Yesus dalam sebuah perumpamaan. Penulis mengamati dua hal yang ingin disampaikan Yesus melalui perumpamaan tersebut, sebagai berikut. Pertama, bagaimana seorang Yahudi menunjukkan cinta kasihnya kepada setiap orang, termasuk kepada orang Samaria. Kedua, bagaimana seorang Samaria pun juga mungkin lebih dekat kepada Kerajaan Allah daripada seorang yahudi yang saleh, tapi yang tak kenal belas kasihan.

B. Analisis
1. Pendahuluan: Cara untuk mendapatkan hidup yang kekal (ay. 25—28)
Dalam nats ini tidak disebutkan kapan dan di mana peristiwa itu terjadi.
Barangkali, Lukas menempatkan bagian ini dalam ‘masa kedua’ dari masa-bekerja Yesus, yang mulai dengan suatu cerita tentang orang-orang Samaria (9:51—56), karena perumpamaan ini pun juga adalah tentang seorang Samaria. Kata berdiri (Yun.: idou) dalam ayat 25 dapat berarti bangkit dari tempat duduknya, sehingga dapat dibayangkan suatu kejadian dalam sebuah rumah ibadat, tetapi dapat juga diterjemahkan: seorang ahli Taurat “tampil ke muka” (dalam suatu percakapan dengan orang banyak atau dalam sebuah rumah ibadat).
Pertanyaan yang diajukan oleh ahli Taurat ini mirip dengan yang terdapat dalam 18:18. Bagaimana istilah “hidup yang kekal” (Yun.: zoen aiwonion) diartikan oleh ahli Taurat, adalah sukar untuk ditentukan. Hidup yang kekal bukanlah pertama berkenaan dengan kuantitas hidup (lamanya hidup), tetapi dengan kualitasnya (macamnya atau mutunya). Dengan demikian, hidup kekal bukan berarti hidup-tanpa-akhir, tetapi hidup yang bermutu tinggi, yang diperoleh dengan persekutuan dengan Allah. Pada ay. 28, Yesus tidak menjawabnya dengan istilah “hidup kekal” (zoen aiwonion), tetapi berkata; “. . . perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup (κάι ζηση: and you will live).” “Engkau akan hidup”, artinya sama saja dengan hidup yang kekal (zoen aiwonin), namun tanpa penambahan kata “kekal”. Boland mendefinisikan hidup yang kekal sebagai mengalami hidup yang sejati dan tulen yang mengatasi hidup di dunia ini, atau hidup yang disifatkan oleh persekutuan dengan Allah yang ‘kekal’, yaitu berlainan sekali dari dunia ini dan kita manusia.
Ahi Taurat tersebut ingin mencobai Yesus akan pengetahuannya tentang kitab suci dan persoalan rabi-rabi Yahudi mengenai suruhan dan larangan yang penting dan kurang penting. Ia hendak memeriksa apakah jawaban Yesus sesuai dengan isi Taurat (Ibr.: Thora). Akan tetapi, Yesus tidak mau terjebak. Dalam dialog yang dikisahkan oleh Lukas ini, Yesus menjawab dengan meminta jawab dari ahli Taurat itu sendiri. Lalu, orang itu menjawab dengan rumusan, yang akrab disebut “Perintah Utama” (bnd. 18:18—23).
Tentang rumusan “kasih kepada Allah”, dalam ay. 27 terdapat empat kata (hati, jiwa, kekuatan, akalbudi) yang juga terdapat dalam Markus 12:30. Dalam Mat. 22:37 terdapat tiga kata (hati, jiwa, akalbudi). Latar belakangnya adalah bahwa dalam Ul. 6:5 dipergunakan tiga kata Ibrani (hati, jiwa, kekuatan) yang kata pertamanya dapat diterjemahkan dalam dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu kardia dan dianoia. Akibatnya dalam LXX, kata pertama dari Ul. 6:5 itu, menurut beberapa naskah diterjemahkan dengan kardia (jantung atau hati), menurut naskah-naskah lain dengan dianoia (kegiatan rohani, pikiran, isi hati, atau akalbudi). Ternyata bahwa istilah-istilah itu tidak dapat dipisahkan satu sama lain secara tegas. Oleh karena itu, tidak boleh menekankan perbedaannya, misalnya mengatakan: “Janganlah kita mengasihi Allah dengan hati kita, tetapi juga dengan akalbudi kita”. Manusia adalah satu kesatuan dari tubuh, jiwa, roh, akalbudi, perasaan, kemauan, dan seterusnya. Orang percaya harus mengasihi Allah dengan segenap keberadaannya.

2. Implementasi Perintah Utama: Perumpamaan tentang hakikat sesama manusia (ay. 28—35)
Siapakah sesamaku manusia?
Bagian pertama dari Perintah Utama itu tentulah begitu saja dapat disetujui oleh ahli Taurat tersebut, tetapi berlainan sekali halnya dengan bagian yang kedua, tentang kasih kepada sesama. Menurut Boland, terjemahan kata Ibrani sesama dari Imamat 19:18 dapat diterjemahkan dengan teman/kawan atau saudara (dalam arti luas) dan kata itu disamakan orang Yahudi dengan teman sebangsa (Im. 19:18a). Terjemahannya dengan sesama manusia (Yun.: mou plesion – [my neighour] - terj. LAI ) sebenarnya adalah terlalu luas, jika dipandang dari sikap yang lazim di antara kaum Yahudi. Menurut Im. 19:34 termasuk juga ke dalamnya orang asing tertentu, yaitu penduduk bukan-asli yang biasanya termasuk kepada golongan yang lemah secara sosial dan yang harus diberi perlindungan. Dalam penjelasan Boland, pada waktu belum ada timbul suara-suara yang mau memperluas pengertian “sesama” itu kepada sesama-manusia dengan tidak membedakan antara golongan sendiri dan “orang-orang luar”. Tentang soal siapa yang betul-betul dimaksud dalam Im. 10:18, 34 barangkali pada waktu itu sedang dipercakapkan oleh rabi-rabi Yahudi. Jadi, dapat dimengerti mengapa ahli Taurat itu mengemukakan pertanyaan yang kedua: “Siapakah sesamaku manusia?”
Sebenanya, pertanyaan: siapakah sesama manusia oleh ahli Taurat, dalam penuturan Lukas, merupakan usaha untuk membenarkan dirinya sendiri (justify himself). Barangkali maksudnya ialah: ia mau memperlihatkan bahwa ia tidak bertanya begitu saja dan bahwa pertanyaannya itu bukanlah pertanyaan yang bodoh. Bukankah ia seorang ahli teologi yang tahu soal-soal mana yang timbul dalam lapangan penafsiran kitab suci? Barangkali (kalau disederhanakan), maksud dari pertanyaannya yang kedua tersebut adalah: “Tetapi sampai kepada siapakah berlaku perintah/larangan dari Im. 19:18 itu?” Siapakah yang dimaksudkan di sana dengan istilah “sesama” atau “teman” atau “saudara” itu? Jadi, tampaknya ahli Taurat tersebut tidak mengenal pengertian (baca: hakikat) “sesamaku manusia”. Boland memberi komentar sebagai berikut.

“Berdasarkan pandangannya yang picik, ia mengemukakan pertanyaan yang picik: sampai kepada siapakah berlaku perintah untuk mengasihi orang-orang lain? Untuk menjawab pertanyaan itu maka Yesus menceritakan “perumpamaan tentang orang Samaria yang baik hati”.

Ada kemungkinan, munculnya cerita itu dalam benak Yesus karena pada waktu itu sering terjadi pembegalan yang hebat. Menurut cerita kuno, peristiwa itu terjadi kira-kira di tengah jalan dari Yerusalem ke Yerikho, di suatu tikungan dekat ke lembah. Seorang pemilik rumah penginapan berusaha menggaruk untung dari “orang Samaria yang baik hati” itu. Namun, dalam karangan Flavius Yosefus, pada zaman dahulu di jalan antara Yerusalem dan Yerikho sering terjadi pembegalan orang-orang yang sedang mengadakan perjalanan. Daerah itu sangat kondusif bagi penyamun-penyamun. Dalam jarak 27 km (Yerusalem—Yerikho) jalan itu menurun ratusan meter; dan pada dinding-dinding gunung terdapat gua yang banyak dipakai sebagai tempat persembunyian penyamun-penyamun.
Mengenai orang yang menjadi korban dalam cerita ini, kita boleh menyangkanya seorang Yahudi. Sesuai dengan maksud perumpamaan ini (sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian pengantar), kemurahan hati seorang Samaria adalah sesuatu yang kontras dengan persepsi orang Yahudi tentang orang Samaria. Bisa dibayangkan bahwa orang itu mempertahankan diri dengan hebat terhadap penyamun-penyamun, oleh sebab itu ia dipukuli setengah mati.
Dalam paparan Yesus, kebetulan lewatlah seorang iman, sesudah itu seorang Lewi (pembantu atau pelayan seorang iman). Berdasarkan kata “turun” dalam ayat 31, boleh dianggap bahwa mereka pun juga berjalan dari Yerusalem ke Yerikho; jadi sesudah memenuhi tugasnya di Bait Suci, mereka pulang ke rumah. Di kota Yerikho banyak tinggal imam. Barangkali itulah alasan pertama mengapa Yesus menyebutkan seorang imam, lalu seorang Lewi. Imam dan orang Lewi pada umumnya dihormati sebagai rohaniawan, dan banyak dari antara mereka tinggal di Yerikho. Seharusnya dari merekalah diharapkan belas kasihan kepada orang itu dan menolongnya. Tetapi, apa yang terjadi? Justru mereka tidak mengerti bahwa kasih kepada Allah dan kepada sesama adalah lebih berharga dari segala korban bakaran dan korban sembelihan (bnd. Mrk. 12:33).
Yesus tidak menerangkan mengapa sang iman dan seorang Lewi tersebut tidak menolong si korban. Barangkali mereka mengira bahwa orang itu sudah mati, sehingga mereka tidak mau menajiskan dirinya (Im. 211—3). Tafsiran ini memang tidak boleh dipertahankan, karena mereka sedang dalam perjalanan pulang ke Yerikho, bukan dari Yerikho ke Yerusalem. Atau, barangkali mereka tidak mau susah-susah mengahabiskan waktu untuk hal yang kurang begitu penting. Akan tetapi, apapun asumsi yang dibangun sebagai alasan mengapa sang iman dan orang Lewi tersebut tidak menolong orang itu, orang yang baru saja dirampok dan telah tergapar setengah mati itu membutuhkan pertolongan yang sangat mendesak. Namun apa yang terjadi? Pertolongan pun tidak muncul dari dua orang tersebut, seorang imam dan seorang Lewi. Sungguh sangat ironis dengan jabatan mereka.
Hal yang berbeda dari kedua orang tersebut, peristiwa itu ditanggapi dengan serius oleh seorang Samaria. Penyebutan orang Samaria ini pasti mengejutkan hati sang ahli Taurat. Ia melihat si korban; ia tidak berbuat seolah-olah ia tidak melihatnya, sekalipun barangkali si korban tersebut adalah seorang Yahudi. Ia merasa belas kasihan dan melakukan tindakan spontan; ia membalut luka-luka orang itu, sambil dibubuhinya lukanya dengan minyak zaitun yang dicampur dengan anggur. Lalu diangkatnya orang itu ke atas hewan tunggangannya, dibawanya sampai ke rumah tumpangan yang berikutnya dan merawatnya di sana. Karena pentingnya perjalanan orang Samaria tersebut, ia menitipkan si korban dan memberi jaminan finansial akan biaya perawatannya kepada pemilik rumah tumpangan. Begitulah cerita itu dikisahkan oleh Tuhan Yesus.

3. Jawaban ahli Taurat
(ay. 36—37)
Setelah menceritakan perumpamaan tersebut, Yesus bertanya kepada ahli Taurat: “Siapakah dari ketiga orang itu (imam, orang Lewi, orang Samaria) yang bertindak sebagai sesamanya terhadap orang yang kena samun di pinggir jalan itu. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sang ahli Taurat pun tidak menyebukan identitas personal dari yang telah bertindak sebagai sesama tersebut. Ia malah menjawab dengan menyebutkan predikat dari orang itu, yakni “orang yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya”. Yesus dengan lantang berkata: “Pergilah dan perbuatlah demikian.”

C. Refleksi
Dari paparan dialog tersebut Yesus tidak menjawab pertanyaan ahli Taurat itu secara langsung. Yesus juga tidak menjelaskan mengapa sang iman dan orang Lewi tidak melakukan hal seperti yang telah dilakukan oleh orang Samaria itu. Yesus tidak mau bersoal jawab secara teoretis dengan ahli Taurat itu mengenai objek/sasaran dari “kasih kepada sesama” (yakni mengenai kepada siapa kasih itu harus ditunjukkan), tetapi secara langsung mau berbicara tentang pelaku/subjek dari ‘kasih kepada sesama” (yakni mengenai siapa yang melaksanakan kasih itu kepada sesamanya).
Pertanyaan “siapakah sesamaku?” dengan sendirinya dipecahkan apabila seseorang betul-betul mau mencoba menjadi “sesama” terhadap orang lain dan bertindak sebagai “sesama” terhadap orang lain. Dalam hal itu akan nyata bahwa segala diskriminasi (baca: pembedaan berdasarkan perbedaan) suku, bangsa, induk bangsa/ras,. Agama, kebudayaan dan seterusnya adalah berlawanan dengan apa yang dimaksud Yesus. Sebab, orang Samaria yang tahu apa kasih kepada sesamanya, menolong juga lawan atau musuhnya. Perintah untuk mengasihi sesama kita atau perintah untuk menjadi sesama bagi orang lain, tidaklah hanya berlaku di kalangan orang-orang yang merupakan orang-orang sesuku, sebangsa, seiman, separtai, sesinode gereja, dan sebagainya, tetapi menghubungkan kita dengan sesama manusia kita.

C. Aplikasi
1. Hidup keagamaan tidak boleh dipecah-pecahkan dalam suruhan dan larangan yang tidak terhingga banyaknya, tetapi harus dipusatkan pada Perintah Utama.
2. Perintah Utama adalah suatu perintah dan sekaligus janji, sebab manusia harus hidup dan sunguh-sungguh akan hidup – artinya akan menemukan hidup yang sejati dan tulen – dengan jalan mengasihi Allah dan sesamanya.
3. kasih kepada Allah dan seama tidak boleh dipisahkan satu sama lain, dan yang satu tidak boleh menggantikan yang lain. Kita tidak dapat mengasihi Allah dan membenci sesama kita, dan kasih kita kepada sesama itu tidak bisa lepas dari kepercayaan kita kepada Allah yang telah lebih dahulu mengasihi kita.
4. Kita harus mulai dengan menjadi “sesama” dan bentindak sebagai “sesama” terhadap orang lain, dengan tidak mempersoalkan siapa dan di mana “sesama” kita itu
5. Kasih kepada sesama tidak hanya terdiri dari perasaan yang luhur dan perkataan yang muluk-muluk, tetapi harus menjadi nyata dalam perbuatan praktis.
6. Dalam hal ini tidak boleh dibuat perbedaan antara golongan sendiri dan “orang-orang luar”, sebab kata “sesama” itu harus diartikan “sesama manusia.”

Penciptaan Alam Semesta: Eksposisi terhadap Kitab Kejadian 1

EKSPOSISI KEJADIAN I
Judul Perikop:
PENCIPTAAN ALAM SEMESTA


Oleh: Bernat Siregar, M.Th

A. Pengantar
Kitab Kejadian merupakan kitab yang sangat penting. Kitab ini memiliki pengaruh yang sangat besar dalam rekonstruksi iman orang percaya karena bersentuhan dengan teori-teori ilmiah dan mitos-mitos penciptaan yang hampir dimiliki oleh semua agama-agama dunia. Kitab Kejadian memberi informasi yang sangat penting tentang asal-usul segala sesuatu, termasuk penciptaan manusia.
Kitab Kejadian 1 dapat disebut kidung pujian yang sangat indah untuk memuliakan Allah, Sang Pencipta. Bagian ini mendorong setiap insan yang percaya untuk memuliakan Allah melalui puji-pujian. Melalui harmoninya yang teratur, rasio kita dipacu untuk memikirkan Allah sebagai Sumber dan Pemelihara segala sesuatu. Dalam pasal ini, ditunjukkan kepada kita tempat manusia yang patut di dalam tujuan agung Allah yang mencakup seluruh ciptaan-Nya.
Pasal ini memiliki kedudukan yang strategis dalam satu kesatuan tema sebelas pasal pertama Kitab Kejadian (1—11), yakni pengungkapan keagungan Tuhan sebagai Pencipta dan Pemelihara segala sesuatu. Sebelas pasal pertama Kitab Kejadian ini memiliki tema yang mirip dengan mitos-mitos penciptaan. Latar belakang bagian terbesar Kejadian 1—11 adalah tanah dan kebudayaan Mesopotamia (disebut Babel; dan sekarang disebut Irak). Hal itu teracu dalam Pasal 2 yang menyebut sungai Tigris dan Efrat. Inilah Irak modern. Kej. 11:1-9 menyebutkan tanah Sinear, nama lain bagi negeri yang sama dengan Mesopotamia. Karena itu, tidak mengherankan apabila tema Kejadian 1—11, khususnya urutan puisi dalam pasal 1, mirip dengan cerita-cerita dari Mesopotamia tentang penciptaan. Misalnya, Riwayat Atrahasis (dikarang kira-kira 1600 SM) menceritakan tentang penciptaan dunia (bnd. dengan Kej. 1) dan suatu air bah yang besar (bnd. dengan Kejadian 6).
Suatu karya dari Babel yang lebih kemudian, Enuma Elish, juga menceritakan tentang penciptaan, yakni mulai dengan roh ilahi dan dunia yang belum berbentuk dan kosong. Cerita ini ditujukan untuk memuliakan ilah utama Babel, yakni Marduk, yang mengalahkan naga raksasa dari samudera, namanya Tiamat. Dalam karya ini dikisahkan, mula-mula terang muncul dari para ilah, lalu langit, tanah yang kering, benda-benda penerang, dan pada akhirnya diciptakanlah manusia. Sesudah itu, ilah-ilah istirahat dan bersukaria.
Cerita-cerita itu mungkin telah diketahui oleh umat Allah. Akan tetapi, kendati ada kesamaan antara Riwayat Athrahasis dan Enuma Elish dengan kisah penciptaan dalam Kejadian 1, namun ditemukan ciri khas yang sangat berbeda, yakni sifat pujian dan pengagunan kepada Tuhan. Ada pra-anggapan bahwa Kejadian 1 merupakan usaha menolak mitos-mitos penciptaan tersebut dengan memberi ciri teologi yang khas dan mutlak berbeda dengan ajaran teologis mitos-mitos tersebut.
Perbedaan yang sangat khas antara kisah penciptaan menurut Kitab Kejdian 1 dengan kisah Enuma Elish dijelaskan oleh David Atkinson sebagai berikut. Pertama, Enuma Elish menyebut banyak ilah, sedangkan Kejadian 1 memberitakan monoteisme (bnd. Mzm. 82), hanya ada satu Allah. Kedua, dalam kisah Enuma Elish dikatakan bahwa keberadaan roh ilahi maupun materi kosmik adalah sama-sama kekal, sedangkan Kejadian 1 memberitakan bahwa Allah benar-benar lain dari segala yang diciptakan-Nya dan keberadaannya mutlak bergantung kepada-Nya. Ketiga, dalam Enuma Elish: matahari, bulan, bintang-bintang, dan naga raksasa dari samudera dianggap ilah yang berkuasa, sedangkan dalam paparan Kejadian 1 bahwa semuanya itu melulu makhluk ciptaan. Keempat, Enuma Elish (dan pada umumnya kisah penciptaan dari Mesopotamia) mengatakan bahwa terang muncul dari para ilah, sedangkan Kejadian mengatakan Allah menciptakan terang dengan kuasa firman-Nya. Dengan demikian, dapat disimpulkan, walaupun cerita-cerita Babel/Mesopotamia dan Kejadian memiliki persamaan tema, amanat teologisnya sangat jauh berbeda. Kejadian memuji Allah sebagai Pencipta segala sesuatu, memberi hidup, memelihara, dan memuliakan kehidupan manusia, sedangkan kisah-kisah penciptaan Babel hanya menempatkan manusia sebagai penyedia makanan bagi para dewa.
Dalam penjelasan Henry M. Morris, istilah kejadian (genesis) memiliki makna yang sama dengan asal-usul (origin), dan Kitab Kejadian 1 menjelaskan enam asal-usul yang sejati dan dapat dipercaya tentang alam semesta (universe) dan kehidupan yang ada di dalamnya, antara lain: (1) kejadian alam semesta, (2) keteraturan dan kompleksitas, (3) sistem tatasurya (solar system), (4) atmosfer dan hidrosfer, (5) kehidupan di muka bumi, dan (6) penciptaan manusia. Pasal yang lain setelah Kejadian 1, memaparkan tentang berbagai asal-usul, antara lain: (1) pernikahan, (2) kejahatan, (3) perkembangan bahasa, (4) pemerintahan, (5) kebudayaan, (6) bangsa-bangsa, (7) agama, dan (8) umat yang terpilih. Kitab Kejadian berada dalam realitas dasar dari semua sejarah, termasuk perkembangan sains dan filsafat.
Banyak teka-teki tentang dunia yang tak terpecahkan dan tak kunjung terpecahkan. Kitab Kejadian tidak menerangkan semuanya karena Alkitab bukanlah kitab (kronologi) sejarah dan acuan data-data ilmiah. Ia hanya menjelaskan bahwa Allah menciptakan segala sesuatu secara sistematis dan teratur hingga diciptakan-nya manusia sebagai mahkota atas semua ciptaan-Nya. Kejadian tidak mempersoalkan (detail-detail) bagaimana Allah menciptakan alam semesta serta detik-detik proses penciptaan tersebut. Misteri penciptaan ini barangkali terbatas pada penalaran sains yang secanggih apapun sehingga tidak ada alasan bagi manusia untuk tidak mengagumi Sang Pencipta.
Kejadian 1 memiliki kesatuan yang utuh hingga Kejadian 2:4. Bagian ini menggambarkan tentang penciptaan awal.

B. Analisis
1. Bagian Pendahuluan: 1:1-2

Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air.

a. Penciptaan langit dan bumi: dari yang tidak ada menjadi ada
Kejadian 1:1 memiliki kedudukan yang sangat penting dalam keseluruhan pasal 1, karena merupakan rangkuman dari rangkaian penciptaan yang dituturkan dalam ayat-ayat berikutnya. Frase “pada mulanya” (merupakan pernyataan atau gagasan penegas yang berdiri sendiri. Menurut Donald Guthrie, et al., dalam bukunya Tafsiran Alkitab Masa Kini 1: Kejadian–Ester, jika pada mulanya merupakan awal atau kesimpulan dari seluruh tahap penciptaan, maka ayat ini bisa dbaca atau berfungsi sebagai judul. Maka, Allah menciptakan memaksudkan penciptaan yang mutlak dari yang tidak ada menjadi ada (ex nihilo). Kata kerja menciptakan, dalam teks aslinya adalah bara, dipakai hanya bila suatu tindakan adalah tindakan ilahi, dan hasilnya adalah baru sama sekali atau baru secara ajaib. Menurut David Atkinson, kata kerja bara juga menekankan kebebasan dan kekuasaan Allah. Dalam penafsiran ini, langit dan bumi yang diciptakan Tuhan dipandang dalam keadaan yang terdini, yang belum sempurna, namun sebagai suatu totalitas, suatu keseluruhan. Allah menciptakan langit dan bumi dari yang tidak ada menjadi ada tanpa kesukaran karena Ia mutlak bebas dan tidak terbatas dalam kedaulatan-Nya.
Kejadian 1:1, sebagai pendahuluan Kitab Kejadian, menekankan kebebasan mutlak Allah untuk menciptakan hal-hal yang tidak ada sebelumnya (creatio ex nihilo). Kitab Kejadian menentang gagasan mitos-mitos Babel, bahwa benda (materi) sama kekalnya dengan Allah; tidak ada sesuatu apa pun yang keberadaannya kekal kecuali Allah. Allah tidak tergantung pada keberadaan benda-benda seperti dalam pemahaman panteisme. Justru sebaliknya, segala sesuatu (semua benda/materi) bergantung pada Allah. Allah berkuasa mengadakannya dan sekaligus juga meniadakannya. Oleh karena itu, semua ciptaannya harus takhluk dan bersembah sujud kepada-Nya.
Berdasarkan paparan di atas, dengan mengatakan bahwa Allah menciptakan langit dan bumi, muncul sebuah gagasan bahwa alam semesta terbuka bagi Allah; alam semesta terbuka bagi kemungkinan-kemungkinan baru, terbuka untuk diubah menjadi wilayah kemuliaan-Nya. Kejadian alam semesta, yang diringkaskan dalam sebuah ayat pendek dalam Alkitab, akan tetap menjadi misteri bagi siapa pun juga, baik bagi para teolog, filsuf, maupun saintis.

b. belum berbentuk dan kosong
Ungkapan ‘belum berbentuk dan kosong’ (tohu wavohu) menggema dalam Yer. 4:23 dan Yes. 34:11 sebagai ‘campur baur dan kosong’. Ungkapan ini menegaskan keberadaan bumi yang belum tertata dan belum memiliki bentuk (baca: kondisi) yang baik untuk dihuni oleh makluk hidup. Keadaan bumi yang belum berbentuk dan kosong menunggu sentuhan kreatif Allah. Kekosongan yang berbentuk itu juga dilukiskan sebagai gelap-gulita menutupi samudera raya (1:2) karena tindakan Allah untuk menyempurnakan ciptaan-Nya belum dikerjakan, namun akan dikerjakan.

c. Roh Allah melayang-layang
Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air (1;2b). Kata Ibrani ruakh bisa diterjemahkan angin atau roh. Alkitab TBI menterjemahkan ruakh elohim sebagai Roh Allah, bukan angin Allah. Kebanyakan ahli tafsir Alkitab mengibaratkannya seperti induk burung rajawali yang menggoyangbangkitkan isi sarangnya dan melayang-layang di atas anak-anaknya, untuk memaksa anak-anaknya yang belum akli balig itu memasuki kehidupan yang berjenjang dewasa. Menurut Kidner, dalam Atkinson, dalam PL ruakh mengacu kepada energi ilahi yang menciptakan dan memelihara. (Bnd. Ayub 33:4). Sama dengan hubungan induk rajawali dengan sarangnya, demikianlah Allah menyempurnakan ciptaan-Nya. Karena Allahlah yang menciptakan langit dan bumi, Ia sendiri pun berkuasa untuk meniadakannya, seperti induk rajawali menggoyangbangkitkan isi sarangnya. Dengan demikian, ungkapan Roh Allah melayang-layang, bukan hanya menegaskan kemahakuasan-Nya atas ciptaan-Nya, sekaligus juga kehadiran-Nya yang imanen dalam pemeliharaan ciptaan-Nya dan Ia sendirilah Sumber kehidupan itu..

2. Penciptaan: Hari Pertama sampai Hari Keenam

a. Jadilah terang (1:3—5)

Berfirmanlah Allah, “Jadilah terang.” Lalu terang itu jadi . . . dipisahkannyalah terang itu dari gelap . . . Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari pertama.

Menurut penulis, hari pertama yang disebutkan oleh 1:3—5 ini berhubungan dengan awal pekerjaan Allah dalam tindakan penciptaan, sebagaimana dijelaskan di atas; gelap gulita menutupi samudera raya, tetapi tindakan Allah melayang-layang di atas permukaan air menunjukkan bahwa Allah hadir di dalam ciptaan-Nya. Secara simbolis, dapat ditafsirkan: kalau Ia hadir, maka kegelapan akan menyingkir; kalau Allah telah memulai pekerjaan-Nya, maka tidak ada yang menghalangi kemahakuasaan dan keberdaulatan-Nya atas segenap alam. Jika terang yang dimaksudkan di sini berhubungan dengan benda penerang , maka makna kata terang dalam ayat 3 akan kabur. Jadi, terang yang dimaksud dalam ayat 3 adalah tindakan Roh Allah atas ciptaan-Nya dan tidak berhubungan dengan terang yang diakibatkan oleh benda penerang.
Sementara, kalimat ‘Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari pertama’, menggambarkan bahwa tindakan Allah (sudah) sempurna (complete). Ungkapan “Itulah hari ke . . .” merupakan formula dari rangkaian kerja Allah, bahwa Ia melakukan semua tindakan penciptaan tersebut secara sempurna, teratur, dan tidak dihalangi oleh apa pun.

b. Jadilah . . . (1: 6—25)
Allah menjadikan segala ciptaan-Nya tanpa bahan yang sudah ada sebelumnya. Allah sungguh-sungguh menciptakan cakrawala (hari ke-2), tumbuh-tumbuhan (hari ke-3), benda-benda penerang (hari ke-4), binatang-binatang (hari ke-5) tanpa materi (baca: bahan) yang sudah ada sebelumnya.
Kalau kita analisis dalam perspektif ilmiah, tampaknya urutan atau kronologi penciptaan sebagaimana disebutkan oleh Alkitab sangatlah tidak logis. Seperti yang sudah penulis sebutkan di atas, ungkapan “Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari ke . . .”. Kalimat ini tidak bertujuan untuk menjelaskan kronologi penciptaan secara ilmiah, tetapi secara pernyataan teologis bahwa Allah menciptakan segala sesuatu dalam agenda Allah sendiri (yang tersembunyi dalam penelaahan sains) dan bahwa apa yang telah dikerjakan-Nya itu sempurna (complete; tidak memerlukan bantuan pihak lain – di luar diri Allah -- untuk mewujudkannya).
Kata Ibrani yom, seharusnya tidak diterjemahkan hari (dalam pengertian 1 x 24 jam) atau perubahan hari dalam kebiasaan Yahudi, yang diakhiri oleh terbenamnya matahari dan pagi mengawali hari yang baru. Kata Yom (hari) lebih menegaskan periodik teknis bahwa karya Allah dalam penciptaan sedang berlangsung secara dinamis dan progresif, bukan sistematitasi atau periodisasi sistematisasi terjadinya ciptaan.
Sebagai contoh. pertama, kalau kita jelaskan secara ilmiah, setelah Tuhan menciptakan terang, pada bagian akhir penjelasan penciptaan tersebut, disebutkan: “Jadilah petang dan jadilah pagi itulah hari pertama.” Bagaimana petang dan pagi terjadi jika bumi tidak berotasi pada porosnya dan dalam porosnya ia berevolusi terhadap matahari, benda penerang yang diciptakan pada hari ke-4? (Tentang pemakaian isitlah terang ini, penulis telah menguraikannya di atas). Kedua, bagaimana tumbuh-tumbuhan (diciptakan pada hari ke-3) hidup tanpa proses fotosintesis, yakni dengan bantuan matahari, benda penerang yang akan diciptakan pada hari ke-4? Pertanyaan ilmiah seperti ini membuat para saintis menertawakan paham Ortodoks yang melihatnya sebagai rentetan kronologis.
Menurut penulis, data-data Kejadian 1:3—25 tentang urutan penciptaan tidak perlu dipersoalkan secara tajam dalam tataran ilmiah. Alkitab bukanlah buku ilmiah atau pun buku sejarah, yang darinya kita membangun teori-teori ilmiah secara akurat dan terpercaya. Alkitab adalah buku yang berisikan karya penyelamatan Allah yang mencapai puncaknya dalam penebusan Kristus.

3. Penciptaan manusia (26—27)

Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita supaya mereka berkuasa . . . menurut gambar dan rupa Allah diciptakan-Nya ia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.

Penciptaan manusia merupakan klimaks dari rangkaian tindakan penciptaan Allah. Kitab Kejadian memberi gagasan yang sangat jenius bahwa (1) manusia adalah puncak dari semua karya penciptaan Allah, (2) manusia itu diciptakan segambar dan serupa dengan Allah; (3) semua yang telah diciptakan Allah diberikan kepada manusia dan berada dalam kekuasaannya.

a. Dicipta segambar dan serupa dengan Allah
Dari kesaksian penciptaan dalam kitab Kejadian, Allah menciptakan semuanya hanya dengan atau melalui firman. Allah hanya berfirman: “Jadilah…” (lihat Kejadian 1:1-25) dalam penciptaan binatang, tumbuh-tumbuhan, dan segenap alam semesta, maka semuanya jadi. Tetapi, manusia diciptakan Allah dengan buatan tangan-Nya sendiri dan menghembuskan nafas (Ibr. ruakh) kehidupan padanya, nafas (roh) Allah sendiri. Dari segala mahluk yang pernah diciptakan oleh Tuhan Allah, hanya manusialah yang dicipta menurut gambar dan rupa Allah. Berarti, manusia dicipta (Ibr. Asah) seperti Penciptanya, dengan kemungkinan keadilan, kesucian dan kebenaran.
Pernyataan bahwa manusia itu dicipta menurut gambar Allah dan seperti rupa Allah, ditemukan juga dalam Perjanjian Baru. Yesus Kristus disebut sebagai gambar Allah (2 Kor. 4:4; Kol. 1:15), dan sudah dijanjikan bahwa barangsiapa percaya kepada Allah akan dijadikan kembali menurut gambar-Nya dan akan serupa dengan Dia (1 Kor. 1549; 2 Kor. 3:18; Kol. 3:10).

b. Manusia sebagai mandataris Allah
Kejadian 1:26 menjelaskan: Allah menjadikan manusia itu, laki-laki dan perempuan, menurut gambar dan rupa Allah. Setelah Allah menciptakan mereka, Allah memberkati mereka dan memberi otoritas untuk menguasai dan menakhlukkan alam, binatang, tumbuh-tumbuhan, dan segala sesuatu yang ada di dalamnya (ay. 28-30).
Allah menjadikan manusia itu seperti allah-allah kecil di bumi. Manusia yang diciptakan dari debu tanah itu dimuliakan-Nya dan dimahkotai-Nya dengan kemuliaan dan hormat. Tentang hal ini, Mazmur 8:4—7 melukiskannya sebagai berikut.

“Jika aku melihat langit-Mu, buatan jari-Mu, bulan dan bintang yang Kau tempatkan: apakah manusia sehingga Engkau mengingatnya? Apakah manusia, sehingga Engkau mengindahkan-Nya? Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat. Engkau membuat dia berkuasa atas atas buatan tangan-Mu; segala-galanya telah Kau letakkan di bawah kakinya; . . . .”

c. Manusia: makhluk rasional
Supaya dapat menjadi mandataris Allah di bumi, Ia memperlengkapi manusia itu dengan akal budi, daya cipta, dan kemampuan-kemampuan bersosial yang lain. Manusia adalah manusia karena ia adalah satu-satunya mahluk yang dapat mengenal kebenaran, yaitu melalui rasio. Manusia adalah satu-satunya mahluk yang dapat berpikir; binatang berpikir bukan karena rasionya, tetapi naluriah hidup (insting) yang diciptakan oleh Tuhan. Manusia juga menjadi manusia, karena ia dapat menjalankan keadilan, yaitu memiliki sifat hukum. Manusia adalah manusia karena ia adalah satu-satunya mahluk yang berkewajiban moral untuk mencapai tujuan kesucian. Supaya manusia bisa mencapai maksud dan tujuan Allah, Ia memberinya roh, yang mana binatang dan tumbuh-tumbuhan dan ciptaan lainnya tidak memilikinya. Roh menjadi sarana Allah untuk berhubungan dengannya. Tiga hal inilah yang membedakan manusia dengan binatang.

d. Manusia: laki-laki dan dan perempuan
Lebih daripada itu lagi, pernyataan tiga rangkap tentang ciptaan Allah dalam ayat 27 bukan semata-mata paralelisme puitis. Jelas, bahwa di situ terdapat penitikberatan yang disengaja, yang maksudnya sudah dapat disimak. Dua kali ditegaskan bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambar-Nya, dan ketiga kalinya hunjukan terhadap “gambar ilahi” itu diganti dengan kata-kata ‘laki-laki dan perempuan’.
Kalau digabungkan keputusan ilahi (‘Baiklah Kita menjadikan manusia … supaya mereka berkuasa …’), kreasi ilahi (‘…maka Allah menciptakan…’) dan pemberkatan ilahi (‘Beranak-cuculah …; penuhilah bumi dan takhlukkanlah itu …’), titik beratnya agaknya diletakkan atas tiga kebenaran fundamental tentang mahluk manusia. Yaitu, bahwa Allah menciptakan (dan masih terus menciptakan) mereka menurut gambar-Nya. Bahwa Ia menciptakan (dan masih terus menciptakan) mereka sebagai pria dan wanita seraya mengaruniai mereka tugas bahagia untuk berkembang biak. Bahwa ia memberikan (dan masih terus memberikan) mereka kekuasaan atas bumi dan segala binatang yang ada di dalamnya.
Jadi, sejak dari permulaannya ‘manusia’ diciptakan sebagai pria dan wanita yang memiliki kedudukan yang sama sebagai ahli waris, baik atas citra ilahi maupun atas kekuasaan atas bumi. Pendapat ini juga didukung oleh William Dyrness, dengan mengatakan: “Laki-laki dan perempuan adalah mahkota ciptaan; mereka diciptakan untuk memerintah.” Tidak terdapat suatu hunjukan dalam natsnya bahwa salah satu kedua seks itu lebih besar keserupaannya dengan Allah daripada yang lain, atau salah satu dari kedua seks itu lebih besar tanggung jawabnya atas bumi dari pada yang lain. Tidak. Baik dalam hal ihwal keserupaan dengan Allah, maupun dalam hal ikhwal tanggung jawab atas pengelolaan bumi (yang tidak boleh disamakan satu satu dengan yang lain, meskipun antara keduanya terdapat kaitan yang erat) mereka berdua adalah dari awalnya sama-sama kebagian. Sebab, dua-duanya adalah sama-sama diciptakan oleh Allah dan serupa dengan gambar-Nya.

4. Sungguh amat baik
”Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka: ”Beranakcuculah dan bertambah banyak . . . Maka Allah melihat semua yang dijadikan-Nya itu sungguh amat baik. Jadilah petang dan jadilah pagi, itulah hari keenam.

Allah memberkati manusia itu dengan segala yang ada di dalam alam semesta. Allah menyediakan makanan bagi manusia itu yang telah tersedia di dalam alam. Manusia harus berkuasa atasnya, termasuk pengelolaan ciptaan Allah.
Setelah manusia diciptakan oleh Allah, Ia melihat bahwa semuanya itu sungguh amat baik. Dalam rangkaian penciptaan pra-penciptaan manusia, Allah tidak mengatakan demikian. Manusia sebagai mandataris Allah memiliki tanggung jawab yang berat. Setelah manusia itu jatuh ke dalam dosa, tanggung jawab manusia sebagai mandataris Allah menjadi kabur. Banyak orang yang melihat dirinya tidak baik, berlawanan dengan pujian Allah atas semua segala yang diciptakan-Nya. Manusia adalah makhluk yang berpotensi untuk mensejahterakan dirinya dan juga melansungkan pengelolaan alam.


C. Aplikasi
1. Allah, Sang Pencipta patut dipuja dan disembah
Menurut penulis, data-data Kejadian 1:3—25 tentang urutan penciptaan tidak perlu dipersoalkan secara tajam dalam tataran ilmiah. Alkitab bukanlah buku ilmiah atau pun buku sejarah, yang darinya kita membangun teori-teori ilmiah secara akurat dan terpercaya. Alkitab adalah buku yang berisikan karya penyelamatan Allah yang mencapai puncaknya dalam penebusan Kristus. Jika Kejadian 1 menjelaskan tentang penciptaan, hal itu berarti bahwa umat Allah harus menyadari bahwa Allahlah yang menciptakan alam semesta dan segala isinya. Kisah penciptaan oleh Kitab Kejadian menyadarkan semua manusia bahwa ia sendiri adalah ciptaan yang harus memuliakan Pencipta-Nya.

2. Tanggung jawab manusia terhadap Tuhan, sesama, dan alam
Sebagai makhluk yang dicipta segambar dan serupa dengan Allah, manusia berperan sebagai mandataris Allah.

Kamis, Februari 28, 2008

Sejarah Penafsiran Alkitab

SEJARAH PENAFSIRAN ALKITAB
(Oleh: Bernat Jody A. Siregar, M.Th)



Kita percaya bahwa seseorang harus menafsirkan pesan-pesan Alkitab dalam konteks historisnya yang sewajarnya – sebuah pandangan intelektual yang diturunkan secara turun-temurun dari para pendahulu kita, baik Yahudi maupun Kristen, yang telah menafsirkan Alkitab secara sungguh-sungguh. Survei sejarah penafsiran Alkitab yang ringkas ini memiliki beberapa manfaat. Pertama, memperkenalkan persoalan pokok yang berhubungan dengan penafsiran Alkitab, yang mempersiapkan para mahasiswa untuk memahami pendekatan kepada isu-isu yang ditampilkan. Kedua, para pembaca menjadi peka terhadap tantangan dan kesukaran dalam mengontekstualisasikan pengajaran Alkitab pada masa kini. Ketiga, pengetahuan tentang sejarah penafsiran memupuk sikap kerendahhatian atas proses penafsiran Alkitab. Dengan demikian, kita berusaha untuk menghindari kesalahan penafsiran yang terjadi dalam sejarah.

Penafsiran Yahudi
Penafsir Alkitab yang pertama dalah mereka yang pertama-tama memiliki kitab-kitab tersebut, yakni orang-orang Israel kuno. Mereka mempelajari dan meredaksinya, dan kemudian disebut Kitab Suci orang Ibrani. Sebagai contoh, Kitab Ulangan adalah penafsiran ulang Musa atas hukum-hukum Allah Demikian juga dengan Kitab 1 dan 2 Tawarikh ditafsirkan ulang menjadi 1 dan 2 Raja-raja dari perspektif pasca pembuangan.
Setelah orang Israel pulang dari pembuangan, mereka lebih akrab dengan bahasa Aram Babilonia dibandingkan dengan bahasa Ibrani, seperti kitab suci mereka. Waktu Ezra mebacakan Hukum Musa, para iman menjelaskannya kepada umat tersebut dalam bahasa Aram. Menurut tradisi rabinik, inilah permulaan lembaga Yahudi baru, yakni Targum, yang merupakan terjemahan dan tafsiran kitab-kitab tersebut. Pada zaman intertestamental, orang-orang Yahudi mengakui tradisi Targum. Pada masa itu, para rabi dan ahli Taurat mengembagkan penafsiran Hukum untuk menyelesaikan berbagai persoalan hidup yang mengemuka. Tahun-tahun terakhir zaman intertestamental, dominasi kekaisaran Yunani dan Roma memaksa orang-orang Yahudi untuk menjabarkan identitas agamawi mereka kepada nuansa agama dan nilai-nilai budaya asing.
Pada zaman Perjanjian Baru, pekerjaan penafsiran yang lebih luas ini bersatu dalam tiga pendekatan yang berbeda terhadap Alkitab. Setiap penafsiran dikaitkan dengan pusat geografis kehidupan agama Yahudi dan sekolah tentang pemikiran yang berbeda.

Yudaisme Rabinik
Berpusat di Yerusalem dan Yudea, Yudaisme berusaha menonjolkan kepatuhan pada kitab suci Ibrani, khususnya Taurat, yang telah mengakomodasi budaya Yunani-Romawi. Pendekatan interpretatif Yudaisme rabinik ini terdiri dari dua bagian, yakni Halakah dan Haggadah. Yudaisme rabinik menghasilkan tiga karya sastra penting.
Misnah menjelaskan pengajaran lisan para rabi tersohor, khususnya Hillel dan Shammai. Tahun 200 AD, Misnah menghadirkan beberapa hukum individu yang disusun dalam enam pokok. Sekitar 50 tahun kemudian, dokumen yang lain disebut Abot. Abot ini mengajarkan hukum lisan yang diterima oleh Musa di gunung Sinai. Kebanyakan isinya adalah halakah. Berikutnya, Talmud Palestina dan Babilonia berisi penjabaran para rabi yang kemudian. Bagian-bagian Talmud ini berisi penafsiran dari Misnah.Kebanyakan isinya adalah haggadah.
Penafsiran Alkitab pada masa Yudaisme rabinik menunjukkan beberapa ciri yang berbeda. Pertama, sangat tergantung pada tradisi penafsiran rabinik. Misnah mengandung dua hal penting pengajaran hukum PL. Misalnya, Taurat mengharuskan orang-orang Israel supaya tidak bekerja pada hari Sabat, Misnah memecahkan konflik dengan mengacu pada tradisi rabinik. Kedua, para komentator sering menafsirkan Alkitab secara harfiah. Misalnya, Ulangan 21:18—21 dibuat menjadi sumber hukum dalam memecahkan pemberontakan seorang anak terhadap orangtuanya. Ciri utama penafsiran rabinik adalah praktik dari midrash.

Yudaisme Helenistik
Pada tahun 333, Aleksander Agung menakhlukkan kekaisaran Persia, termasuk Palestina. Ia dan para suksesornya menyebarluarkan kebudayaan Yunani atas semua jajahannya. Kebudayaan Yunani sangat mempengaruhi kehidupan komunitas Yahudi, sehingga menciptakan nuansa Yudaisme Hellenistik. Filsafat-filsafat Yunani mempengaruhi perkembangan iman Yahudi.
Pada tahun 200 SM, para ahli kitab Yahudi menghasilkan terjemahan Alkitab dalam bahasa Yunani, yang disebut Septuaginta. Intelektualitas Yunani mempengaruhi penerjemahan dan penafsiran Alkitab. Salah satu yang menonjol adalah pemikiran Plato. Para ahli kitab Yahudi mempergunakan filsafat Plato untuk menjelaskan penafsiran Alkitab. Salah seorang yang paling tersohor adalah Filo. Filo meyakini bahwa ada makna lain dibelakang tanda-tanda, angka-angka, dan lambang-lambang yang ada di Alkitab. Ia mengutamakan arti rohani, atau sesuatu yang dirohanikan maknanya. Dengan demikian, Alkitab ditafsirkan dengan pendekatan alegoris.

Komunitas Qumran
Mazhab Yudaisme ini tinggal di Qumran, bagian barat daya Laut Mati, sekitar tahun 150 SM – 68 AD. Mereka menganggap Yudaisme yang di Yerusalem telah sesat. Mereka melihat diri mereka sendiri sebagai generasi terakhir nabi-nabi alkitabiah dan menunggu Guru Kebenaran sebagaimana telah dinubuatkan oleh kitab suci.
Metode yang mereka pakai disebut pesher. Teknik penafsiran metode pesher ini dibedakan dalam tiga pendekatan. Pertama, perubahan dalam teks Alkitab. Mereka memiliki pembacaan teks tambahan di samping teks Alkitab; mereka mengubah terjemahan dari yang seharusnya, sehingga lebih indah dan mudah dipahami. Kedua, berusaha memutakhirkan nubuat dan kata-kata tertentu dalam Alkitab. Ketiga, pendekatan pemisahan teks. Mereka memisahkan kalimat-kalimat yang dianggap panjang. Pokok utamanya, mereka menafsirkan Alkitab dalam pendekatan kontemporer.

Periode Rasuli (30—100)
Para ahli kitab Kristen PB menafsirkan Alkitab dalam perspektif yang baru secara radikal, yakni dalam terang kemesiasan Yesus dan zaman baru akan kedatangan-Nya kembali. Mereka menafsirkan PL dalam pengharapan mesianis yang telah digenapi dalam Yesus Kristus. Penggenapan pengharapan Mesias dalam PB menjadi kunci penafsiran Alkitab, di mana Yesus dipandang sebagai pemberi Hukum Baru. Kristologi PL sungguh-sungguh digali oleh para penulis PB, misalnya Rasul Paulus.
Pada periode para Bapak Gereja, penafsiran Alkitab berpusat pada Kristus. Pokok-pokok dalam PL ditafsirkan atau dipahami secara tipologis. Dua kitab PB, Matius dan Surat Ibrani melakukan pendekatan penafsiran secara tipologis. Banyak hal peristiwa atau kejadian pada masa PL dipahami secara tipologis yang berpusat pada penggenapan mesianis.

Periode Patristik (100—590)
Pada masa bapak-bapak Rasuli, otoritas PL masih diakui dan menjadi satu-satunya kitab suci orang Kristen, seperti layaknya bagi Yudaisme. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya tradisi gereja sangat diperhitungkan dalam membangun doktrin tertentu.

Bapak-bapak Rasuli (100—150)
Periode Patristik dibagi dalam tiga bagian. Pertama, bapak-bapak rasuli, sekitar setengah abad setelah Yohanes meninggal. Beberapa tulisan yang sangat penting adalah Klement dari Roma, Ignatius, Polikarpus, penulis tak dikenal yang menyebut dirinya Barnabas. Beberapa tulisan yang sangat penting, yakni Didache, Sepherd of Hermas, dan Surat kepada Diognetius berada pada fragmen-fragmen yang beragam. Beberapa metode interpretasi yang dipakai oleh para bapak rasuli adalah tipologi. Mereka menggunakan tipologi untuk menghubungkan PL dan PB dalam memahami pengajaran tentang Yesus. Pada pihak lain, tipologi membantu penulis PB untuk mengajarkan kehidupan Kristen berdasarkan PL.
Kedua, pendekatan yang tidak kalah popular dibandingkan dengan tipologi adalah alegori. Alegori digunakan untuk (1) meneguhkan kredibilitas doktrin, dan (2) mengaplikasikan penagajaran kitab suci.
Ketiga, para bapak rasuli menunjukkan tanda-tanda kuno untuk prinsip penafsiran. Pendekatan ini ditolak pada masa reformasi. Selanjutnya, para bapa rasuli lebih memilih pendekatan tradisional untuk untuk mendapatkan pesan-pesan Alkitab. Gereja menganggap pendekatan ini sebagai pendekatan yang benar.

Aleksandria v/s Antiokia (150—400)
Pada masa bapa-bapa Gereja, ada dua poros yang mendominasi penafsiran Alkitab, yakni Aleksandria dan Anthiokia. Seorang sarjana Yahudi dari Aleksandria mengembangkan metode alegoris, yang diadopsi dari filsafat neo-platonis.
Bara gereja dari Aleksandria, bernama Clement, menggunakan metode yang populer di Aleksandria, yaitu metode neo-platonis yang dipergunakan oleh Filo. Klement mengajarkan bahwa Alkitab memiliki dua makna. Jika dianalogikan kepada keberadaan manusia, alegori memiliki makna harfiah (jasmaniah) dan makna rohani, sebagai yang tersembunyi dalam makna harfiahnya. Ia menganggap makna yang tersembunyi di belakang teks lebih penting dari makna harfiah.
Tokoh yang kedua adalah Origenes, bapa gereja dari Anthiokia. Menurut Origen, sebagaimana keberadaan manusia terdiri dari tubuh, jiwa, dan roh, Alkitab memiliki tiga makna, yakni memisahkan jiwa dan roh. Ia menambahkan makna moral (jiwa) sebagai petunjuk etika tentang hubungan orang-orang percaya dengan sesamanya. Tubuh dipandang sebagai hakikat gereja dan roh sebagai hubungan orang percaya dengan Tuhan.
Selajutnya, Origen melihat penafsiran harfiah harus dibuang untuk mendapatkan makna rohani sebagai prinsip kehidupan Kristen dan kebenaran doktrinal. Pendekatan alegoris Origenes yang ekstrim mendapat reaksi dari para pemimpin gereja pada masa itu. Sebagai penolakan terhadapnya, Gereja mengembangkan pendekatan gramatikal historis. Setiap bagian kitab suci dianalisis menurut gramatika dan kosa katanya. Tokoh utamanya adalah Theodore dari Mopsuestia (350—428) dan Theodoret (393—460). Khotbah-khotbah Yohanes Krisostomus (347—407) menunjukkan aplikasi dari hal ini.
Pendekatan alegoris Anthiokia ini ditolak secara meluas oleh Gereja. Theodore memisahkan teks PL dari pengharapan mesianis dan sejarah. Menurutnya, hanya 4 pasal Marmur (2, 8, 45, 110) yang menubuatkan inkarnasi Kristus. Theodore dan pembelajar di Anthiokia menolak metode alegoris dan pendekatan sejarah Alkitab. Pada pihak lain, mereka belum secara mutlak menolak alegori, namun lebih menonjolkan pendekatan tipologi.

Konsili-konsili Gereja (400—590)
Dengan pertobatan Konstantinus, kaisar Roma, politik memberi pengaruh yang besar dalam kehidupan Gereja. Ia memakasa Gereja menghindarkan perbedaan pemahaman dan mengajukan standarisai doktrin. Hal ini menimbulkan pertentangan oleh teolog Ortodoks.
Permulaan awal abad IV, Agustinus, mengajukan prinsip-prinsip atau kriteria untuk mendapatkan penafsiran Alkitab yang benar, yakni Pengakuan Iman (rule of faith; pesan yang jelas dari subjek yang Alkitab jelaskan), otoritas gereja (penafsiran tradisional gereja tentang teks), dan pengamatan teks secara seksama. Tokoh penting lainnya adalah Jerome (331—420). Ia menerjemahkan Alkitab PL dan PL dari bahasa Ibrani dan Yunai ke dalam bahasa Latin. Selanjutnya, gereja menggunakan terjemahan resmi ini sebagai acuan dalam memahami kebenaran doktrin.

Abad Pertengahan (590—1500)
Abad Pertengahan merupakan masa kegelapan dalam sejarah gereja. Gereja membedakan secara tajam antara awam dan para imam. Masa ini disebut masa kegelapan karena moral dan iman yang benar-benar gelap di mana kekuasaan Gereja melebar dalam segala aspek hidup masyarakat.
Ada tiga pendekatan dalam penafsiran kitab suci pada Abad Pertengahan. Pertama, pendekatan tradisional, yang diwarisi dari para bapa gereja. Pendekatan yang lain adalah alegori. Pandangan populer untuk menggunakan pendekatan alegori diringkasakan sebagai berikut.

Teks menunjukkan kita apa yang Allah telah lakukan.
Alegori menunjukkan kita iman yang tersembunyi.
Makna rohani memberi kita pola hidup rohani sehari-hari.
Anagogi menunjukkan kita di mana kita mengakhiri percecokan.

Pandangan praktis tentang Alkitab oleh para ahli dipahami sebagai berikut.
Harfiah : kota Yahudi kuno.
Alegoris : gereja Kristen
Moral : inti iman
Anagogis : kota surgawi.
Metode ketiga adalah penafsiran historis. Namun, beberapa sarjana Abad Pertengahan mengembangkan pendekatan skolastisme. Skolastisisme ini adalah kebangunan intelektual pra-Renaisans. Mereka bergulat akan hubungan antara iman Kristen dan akal manusia. Dua faktor yang membuat pendekatan ini menjadi subur adalah sebagai berikut. Pertama, Eropa mengalami keadaan politik yang relatif stabil dan para sarjana bergumul dengan pertanyaan yang harus dijawab secara akali. Kedua, orang Kristen menggemari filsafat Aristoteles sebagai alat mengembangkan doktrin.
Tokoh yang paling terkenal pada Abad Pertengahan adalah Thomas Aquinas, dengan sumbangsihnya yang masyur Summa Theologiae. Para mahasiswa akademi teologi menyintesiskan pendekatan filosofis dalam memahami doktrin Kristen. Metode analisis logis membuahkan iman yang rasional dan penjelasan yang sistematis. Summa Theologiae Thomas Aquinas diterima menjadi standar resmi teologi Gereja Katolik Roma.

Masa Reformasi
Reformasi Protestan mengantarkan revolusi dalam penafsiran kitab suci, yang sangat berpengaruh hingga kini. Reformasi Protestan didahului oleh penafsiran abad Pertengahan yang diprakarsai oleh teolog skolastik yang humanis dan membawa iman ke dalam penalaran rasional, namun tidak memberi manfaat terhadap pertumbuhan iman jemaat.
Salah satu tokoh penting Abad Pertengahan yang sangat mempengaruhi Reformasi Protestan adalah Erasmus. Ia menterjemahkan Yunani PB ke dalam edisi modern, sebuah terjemahan ke dalam bahasa Latin yang lebih bebas. Dengan demikian, otoritas Vulgata berkurang dalam menentukan doktrin.
Dua tokoh Reformasi yang memimpin reformasi dalam penafsiran Alkitab adalah Martin Luther dan John Calvin. Landasan penafsiran Reformasi oleh Luther adalah prinsip Sola Scriptura, hanya oleh Alkitab. Luther secara sungguh-sungguh menolak semua doktrin gereja yang bertentangan dengan Alkitab. Luther juga menolak penafsiran alegoris, karena penuh dengan spekulasi yang kosong. Ia juga menganjurkan penerimaan iluminasi Roh Kudus dalam penerapan firman Tuhan dalam kehidupan sehari-hari jemaat.
Calvin sangat menolak penafsiran alegoris. Sebagaimana Luther, ia juga menganjurkan pengalaman pribadi dalam memahami pesan-pesan Alkitab oleh pertolongan Roh Kudus. Calvin menulis banyak komentari Alkitab, yang kemudian hari banyak dipelajari oleh para pengikutnya untuk memahami pemikiran Calvin.
Setelah Reformasi Protestan ini, Konsili Trente membawa Katolik Roma untuk berbalik kepada penafsiran tradisional atas kitab suci. Artinya, Reformasi memberi pengaruh yang positif kepada Katolik Roma dalam penafsiran Alkitab.

Periode Setelah Reformasi (1650—1800)
Reformasi bukan hanya pergerakan revolusioner yang ditimbulkan oleh akhir Abad Pertengahan. Renaisans (1300—1600) mencirikan kelahiran kembali seni dan filsafat Yunani dan Roma Kuno. Ketertarikan kepada bahasa Ibrani dan Yunani berasal dari semangat Renaisans. Baik Renaisans maupun Reformasi mempengaruhi penafsiran Alkitab pada masa setelah Reformasi.
Semanagat Renaisans melahirkan pergerakan intelektual penting, yang disebut rasionalisme. Rasionalisme menganggap akal manusia memiliki otoritas yang dapat dipercaya dalam menentukan kebenaran. Akar rasionalisme berasal dari pemikiran Erasmus. Dalam pelayanan gerejawi mereka menekankan penalaran akl budi untuk membangun iman Kristen.
Tiga pemikir yang lain adalah Thomas Hobbes, Richard Simon, dan Bernard Spinoza. Dalam bukunya Leviathan, Hobbes mengatakan bahwa Pentateukh ditulis setelah zaman Musa. Richard Simon dalam bukunya Critical History of the Old Testament mengatakan bhawa PL merefleksikan sebuah kebingungan dalam kronologi sejarah. Spinoza dalam bukunya Tractacus Theologico-Politicus menekankan keutamaan akal budi dalam penafsiran Alkitab.
Dengan demikian, periode setelah Reformasi membawa fragmentasi dalam penafsiran Alkitab. Pada satu pihak, orang-orang pietis mencari Alkitab karena kehausan jiwa dan rohani mereka, namun pada pihak lain para rasionalis mengaburkan iman ke dalam penalaran akal budi.


Periode Modern
Abad Kesembilan-belas
Abad kesembilan-belas menandai revolusi ilmiah dalam ilmu pengetahuan. Dua tokoh yang paling berpengaruh adalah filsafat Frederick Hegel dan teori evolusi Charles Darwin. Para sarjana Alkitab menafsirkan Alkitab dalam pendekatan positivis, artinya secara ilmiah. Pendekatan mereka disebut pendekatan kritis sejarah (the historical-critical method) atau istilah lainnya kritik sumber (source criticism). F.C. Baur, tokoh utama source criticism. Misalnya mengatakan bahwa beberapa bagian PB ditulis pada abad II, bukan pada masa rasul-rasul tersebut.
Julius Welhaussen, seorang ahli PL, membagi PL dalam empat sumber pokok. Alasananya adalah (1) Musa tidak menulis Pentateukh, (2) Hukum Taurat diberikan bukan pada masa mereka, tetapi setelahnya, (3) sejarah Israel harus dibedakan dari narasi PL.
Akhir abad ke-19, seorang sarjana Jerman Adolf von Harnack, dalam bukunya What is Chrsitianity, merumuskan teologi liberal yang mendominasi Protestanisme dalam penafsiran Alkitab. Harnack merumuskan tiga bagian yang esensial dari agama Yesus, antara lain: (1) kedatangan Kerajaan Allah, (2) kebapaan Allah dan nilai keterbatasan jiwa manusia, dan (3) perintah kasih.
Welhaussen dan Harnak telah membawa iman Kristen dalam kritisasi sejarah akan otensitas iman Kristen, yaitu membuat iman Kristen sebagai objek penelitian sejarah. Pertanyaan yang sangat esensial dari mereka adalah: jika Yesus sendiri tidak pernah hadir dalam sejarah, bagaimana kita membangun iman Kristen di atasnya?

Abad Keduapuluh
Abad kesembilan-belas mewariskan pendekatan teologinya atas penafsiran kitab suci pada abad keduapuluh. Pokok yang mereka bedah adalah sejarah agama-agama (history of religions) dan kritik bentuk (form criticism). Teolog abad kedua-puluh menyelidiki sejarah agama-agama kuno untuk mencari persamaannya dengan agama Israel kuno. Kritik bentuk adalah metode penafsiran sastra terbaru. Mereka menyelidiki dan membagi pasal tertentu dalam bagian-bagian pendek tertentu secara kritis. Mereka menekankan setting budaya pada bagian-bagian Alkitab tersebut secara berbeda-beda.


Setelah Perang Dunia I
Peristiwa yang membawa malapetaka Perang Dunia I telah menghancurkan optimisme yang naïf dari teologi liberal. Teologi liberal sangat bertolok belakang dengan kebutuhan iman orang percaya.
Tokoh pertama adalah Karl Barth, seorang teolog dari Swiss. Dalam bukunya Tafsiran Roma, ia menyalahkan liberalisme dan mengutamakan pesan-pesan Alkitab atas kebutuhan manusia. Dalam bukunya yang sangat terkenal Church Dogmatics, ia menekankan penafsiran yang alkitabiah untuk memperkaya teologinya.
Tokoh kedua adalah Rudof von Harnack, seorang teolog yang sangat dipengaruhi oleh filsafat eksistesialisme Kirkegaard. Bultman mengaplikasikan metode kritik bentuk dalam menyampaikan pesan-pesan Alkitab. Ia membedakan antara “Yesus sejarah” (person who actually lived) dan “Kristus iman” (person in Christian preaching). Untuk melihat pesan-pesan Alkitab, Barth memakai metode demitologisasinya, sehingga pesan-pesan Allah dalam Alkitab ditemukan. Ia sangat menekankan pesan-pesan Alkitab untjuk konteks hidup masa kini.
Bultman menggunakan hermeneutika eksistensialisme. Ia menekankan bahwa Alkitab menjadi wahyu, jika pesan-pesannya disampaikan dalam keberadaan hidup manusia pada zamannya. Bersamaan dengan Barth, mereka berdua mengembangkan teologi krisis yang kemudian disebut Neo-ortodoksi, atau teologi dialektis.
Emil Brunner juga memiliki asumsi yang kurang lebih sama dengan mereka. Pertama, Allah adalah subjek, bukan objek. Alkitab tidak dapat mengakomodasi semua pengetahuan tentang Allah. Ia hanya dikenal melalui pengalaman yang personal. Kedua, Allah adalah transenden dan Ia memakai mitos untuk menyampaikan wahyu bagi manusia

Setelah Perang Dunia II
Perang Dunia II mempengaruhi teolog-teolog dalam menafsrkan Alkitab. Childs, teolog Amerika, mempublikasikan Pergerakan Teologi Alkitabiah. Ia mempromosikan refleksi yang positif atas teologi dan Alkitab.
Tiga model penafsiran yang berkembang setelah Derang Dunia II adalah teologi ortodoks, penafsiran baru Bultmanian, dan canon criticism. Menurut Childs, ada lima penekanan yang menandai pergerakan tersebut, antara lain (1) penemuan kembali dimensi teologis Alkitab, (2) kesatuan dari keseluruhan Alkitab, (3)wahyu Allah dalam sejarah, (4)pembedaan pola pikir kedua Perjanjian (Alkitab), (5) pemahaman Alkitab dalam budaya kuno.
Kedua, murid-murid Bultman mengembangkan metode herneutika baru (new hermeneutics). Mereka menekankan studi bahasa asli Akkitab dan memahaminya dalam pengalaman hidup orang percaya. Beberapa keuntungan dari hermeneutika baru Bultmanian ini adalah (1) menstimulasi sebuah pergerakan yang segar refleksi teoretis adalah subjek, (2) tujuan pembelajaran teks Alkitab adalah pembaca dalam dimensi kehidupannya, (3) Kitab Suci sangat berhubungan dengan keberadaan hidup orang percaya yang seutuhnya, dank arena itu harus dimengerti dalam pendekatan kontemporer.
Ketiga, gerakan teologi alkitabiah. Mereka menekankan metode kanon kritis. Mereka memandang otoritas Alkitab, yang mana Allah telah menyapa manusia dalam sejarah Yahudi dan komunitas Kristen. Sebagai kesimpulan, abad kedua-puluh telah membuahkan berbagai ragam penafsiran dan refleksi filosofis dalam penafsiran Alkitab.

Dosa Menghujat Roh Kudus: Dosa yang Tidak Dapat Diampuni

Dosa Menghujat Roh Kudus: Dosa yang Tidak Dapat Diampuni

Oleh: Bernat Siregar, M.Th


Perikop: Yesus dan Beelzebul

(20) Kemudian Yesus masuk ke sebuah rumah. Maka datanglah orang banyak berkerumun pula, sehingga makan pun mereka tidak dapat. (21) Waktu kaum keluarga-Nya mendengar hal itu, mereka dating hendak mengambil Dia, sebab kata mereka Ia tidak waras lagi. (22) Dan ahli-ahli Taurat dating dari Yerusalem berkata: “Ia kerasukan Beelzebul,” dan: “Dengan penghulu setan ia mengusir setan.” (23) Yesus memanggil mereka, lalu berkata kepada mereka dalam perumpamaan: “Bagaimana Iblis dapat mengusir Iblis? (24) Kalau suatu kerajaan terpecah-pecah, kerajaan itu tidak dapat bertahan, (25) dan jika suatu rumah tangga terpecah-pecah, rumah tangga itu tidak dapat bertahan. (26) Demikian juga Iblis berontak melawan dirinya sendiri dan kalau ia terbagi-bagi, ia tidak dapat bertahan, melainkan sudahlah tiba kesudahannya. (27) Tetapi tidak seorang pun dapat memasuki rumah seorang yang kuat untuk merampas harta bendanya apabila tidak diikatnya dahulu orang kuat itu. Sesudah itu barulah ia dapat merampok rumah itu. (28) Aku berkata kepadamu: sesungguhnya semua dosa dan hujat anak-anak manusia akan diampuni, ya, semua hujat yang mereka ucapkan. (29) Tetapi apabila seorang menghujat Roh Kudus, ia tidak mendapat ampun selama-lamanya, melainkan bersalah karena melakukan dosa kekal.” (3) Ia berkata demikian karena mereka katakan bahwa Ia kerasukan roh jahat.

A. PENDAHULUAN
Kisah “Yesus dan Beelzebul” terdapat dalam ketiga Injil Sinoptik, yakni Matius 12:22—32, Markus 3:20—30, dan Luk. 11:14—23. Tampaknya, nats dari ketiga kisah Injil tersebut memiliki kesamaan alur cerita, namum juga memiliki perbedaan.
Perbedaan yang paling mencolok adalah bahwa dalam Lukas 11:14—23 tidak terdapat ucapan Yesus: “Segala dosa dan hujat anak manusia akan diampuni, tetapi hujat terhadap Roh Kudus tidak akan diampuni.” (lih. Mat. 12:31). Dalam Mrk. 3:28, kalimat tersebut memiliki penekanan penjelas dalam beberapa kata dari ucapan Yesus tersebut (dibandingkan dengan Mat. 12:31): “Aku berkata kepadamu, sesunguhnya semua dosa dan hujat anak-anak manusia akan diampuni, ya, semua hujat yang mereka ucapkan. Tetapi apabila seseorang menghujat Roh Kudus, ia tidak mendapat ampun selama-lamanya, melainkan bersalah karena berbuat dosa kekal.”
Apakah sebenarnya dosa yang tidak dapat diampuni itu? Tuhan Yesus memperingatkan hal itu dengan tegas sekali. Dari pemaparan perikop ini, terlihat bahwa yang diberi peringatan adalah orang-orang beragama yang rajin beribadat (baca: ke rumah ibadat), yaitu ahli-ahli Taurat (baca: orang-orang Farisi). Itu berarti dosa menghujat Roh Kudus ini adalah dosa yang serius, tidak sepele. Dosa yang tidak dapat diampuni itu bukanlah suatu perbuatan atau kelakuan yang kasar, cemar atau jahat, dan sejenisnya.
Dalam analisis di bawah ini terhadap nats Markus 3;20—30 akan dipaparkan apa, mengapa, dan bagaimana dosa menghujat Roh Kudus, yakni dosa yang tidak dapat diampuni tersebut dengan mengupas ayat-ayat atau bagian-bagian dari perikop Yesus dan Beelzebul. Pada bagian terakhir, penulis mengajukan sebuah refleksi kritis teologis dan aplikasinya bagi kehidupan orang percaya masa kini.

B. ANALISIS
1. Yesus didatangi oleh orang banyak dan ahli-ahli Taurat (3:20-22)
Ayat pertama dari perikop ini diawali dengan kata “” (dan)Alkitab TBI menerjemahkannya “kemudian”. Hal ini berarti bahwa peristiwa dari yang dikisahkan oleh perikop ini terjadi setelah beberapa peristiwa dalam paparan perikop sebelumnya. Setelah menyelesaikan beberapa pelayanan-Nya, Yesus dan murid-murid masuk dalam sebuah rumah. Mereka baru saja dari perjalanan bersama dengan murid-murid-Nya (lih. 3:7 dan 3:15).
Dalam ayat 22 dijelaskan bahwa keluarga Yesus datang untuk mengambilnya, sebab katanya Ia tidak waras lagi. Kata “kaum keluarganya” dalam ayat ini memiliki makna yang sama dengan “saudara-saudaranya” dalam ayat 31—32. Bahwa mereka itu adalah keluarga dekat Yesus, yakni ibu dan ayah, dan saudara-saudari Yesus. Mereka mengkhawatirkan keberadaan Yesus, bahkan memandang-Nya sudah tidak waras lagi. Frase “tidak waras lagi” bukan berarti bahwa Yesus sudah “berubah akal” atau “gila”. Menurut mereka, Yesus sedang keranjingan keagamaan sehingga berlaku secara keterlaluan.
Kedatangan ahli Taurat dari Yerusalem disebabkan oleh kebencian dan iri hati. Mereka menghubungkan pekerjaan Roh Kudus dengan Iblis. Menurut C.E. Graham Swift, nama Beelzebul tidak dapat dipastikan, baik ejaan maupun sumbernya. Mungkin nama ini berasal dari 2 Raj. 1:2, 16 di mana Baal Zebub berarti “Tuhan lalat”. Bisa juga nama ini adalah nama lain untuk Iblis atau mewakili kuasa jahat yang lebih rendah.

2. Yesus mengajarkan perumpamaan tentang kuasa Iblis dan pekerjaannya
Tuduhan yang dialamatkan oleh ahli-ahli Taurat kepada Yesus segera direspons oleh-Nya. Yesus ingin mengklarifikasi dan menyampaikan kebenaran, karena itu Ia sendiri secara agresif memanggil para ahli Taurat tersebut. Yesus memanggil mereka untuk menjawab tuduhan mereka, yakni bahwa kuasa yang Yesus demonstrasikan bukan berasal dari Beelzebul, penghulu setan, melainkan dari Allah. Dari ketiga Injil Sinoptik hanya Markus yang mengetengahkan pernyataan pembuka: “Bagaimana setan dapat mengusir setan?” Tentang bantahan Tuhan Yesus kepada ahli-ahlin Taurat tersebut, R.C.H. Lenski menjelaskan sebagai berikut di bawah ini.

“’If a kingdom is divided against itself that kingdom cannot stand.’Jesus speks of a kingdom because the scribes had referred to Beelzebul as the ruler of the demons. What Jesus asserts is the universal experience of men, which no man would think of contradicting. With eav (also in v. 25) Jesus assumens a case in which a kingdom becomes divided against itself, the aorist pointing to actual divisions, one part fighting against another (the same in v. 25).”
Sebagai jawaban dari tuduhan tersebut, pertama Yesus memberikan sebuah perumpamaan bahwa betapa keterlaluan tuduhan tersebut, lalu Ia memperingatkan mereka akan bahaya yang begitu mengerikan dari tindakan ahli-ahli Taurat yang keterlaluan tersebut. Dalam ayat 24—26, tingkatan-tingkatannya patut diperhatikan: kerajaan, rumah, Iblis. Makin kecil persekutuan makin mematikan perpecahannya.

3. Dosa menghujat Roh Kudus: dosa yang tidak dapat diampuni
Pada ayat 28, Yesus menegaskan bahwa semua dosa yang dilakukan anak-anak manusia akan diampuni, kecuali dosa menghujat Rudus. Apakah Yesus memaksudkan bahwa ahli-ahli Taurat telah melakukan penghujatan terhadap Roh Kudus. Mungkin di antara orang yang mendengarkan perkataan Tuhan Yesus pada masa itu tidak ada yang memiliki pengertian tentang Roh Kudus sebagai salah satu Oknum dari Tritunggal. Mereka itu pun tidak dapat melihat bahwa Tuhan Yesus adalah Oknum kedua dari Tritunggal. Mungkin mereka hanya mengira bahwa Roh Kudus adalah sebagai kuasa yang memancar daripada Allah saja. Monoteisme mereka bersifat mutlak, jadi tidak ada unsur kebhinnekaan yang terkandung dalam keberadaan Allah. Mengenai Tritunggal barulah dinyatakan sepenuhnya dalam PB dan setelah para rasul memahami pengajaran Yesus Kristus sebelum kenaikan-Nya ke surga.
Para ahli tafsir berbeda pendapat apakah ahli-ahli Taurat telah melakukan dosa yang tidak dapat diampuni tersebut, sebagaimana disebutkan oleh Yesus. Menurut C.E. Graham Swift, dalam peristiwa tersebut ahli Taurat belum melakukan dosa menghujat Roh Kudus. “Yesus tidak mengatakan bahwa ahli Taurat melakukan dosa itu, hanya bahwa mereka secara membahayakan mendekatinya.”
Berbeda dengan penjelasan Graham Swiftof, Lenski menegaskan bahwa ahli-ahli Taurat telah melakukan dosa tersebut. Yesus tidak hanya sekedar memperingatkan mereka.

“The blasphemous slander of the scribes makes it necessary for Jesus to tell them about the limitations in regard to finding remission. The range for pardon is indeed great since it extends over every sin, not matter what it may be, and includes even blasphemy, mocking, and vicious utterances that are directly against God. But the scibes must be warned that one exeption exists, namely the blasphemy against the Holy Spirit . . . Jesus speaking to the Pharisaic scibes who never believed in him. Hence the uppardonable sin or the sin against the Holy Ghost may be committed, not only by former believers . . . but also by men have never believed.”
J. Sidlow Baxter menjelaskan, peringatan Tuhan Yesus tersebut adalah ungkapan yang sangat keras, sekalipun orang-orang yang mendengarkannya itu tidak mengerti akan Oknum Roh Kudus. Berikut di bawah ini komentar Baxter tentang sikap ahli Taurat tersebut.

“Tapi peringatan Tuhan Yesus itu tidak berkurang hebatnya, sekalipun orang-orang yang mendengarkannya tidak mengerti akan Oknum Roh Kudus. Bahkan sebaliknya, peringatan itu lebih hebat lagi, karena mengandung arti bahwa kita mungkin melakukan dosa yang tak dapat diampuni itu sekalipun kita tidak mengetahui bahwa Roh Kudus itu adalah satu Oknum dari Tritunggal.”

Ucapan tentang menghujat Roh Kudus adalah salah satu ucapan Tuhan Yesus yang paling menantang. Karena disalahtafsirkan maka ucapan itu telah mengakibatkan derita yang tak terkatakan. Di lain pihak, ucapan itu tidak boleh ditiadakan artinya. Apakah yang dimaksud Tuhan Yesus dengan dosa menghujat Roh Kudus? Mengapa dosa tersebut tidak dapat diampuni?
Menurut Baxter, yang disebut “menghujat” atau “menentang” Roh Kudus adalah suatu perbuatan, yang dengan sadar dan nekad, menghina dan merendahkan kehormatan Allah. Sementara menurut Graham Swift, dosa yang tak terampuni ini bukanlah perbuatan atau ucapan yang terasing tanpa hubungan, melainkan suatu sikap menentang dan menolak terang yang dilakukan dengan sengaja, sikap lebih menyukai kegelapan daripada terang (bnd. Yoh. 3:19). Bagaimanakah cara ahli Taurat merendahkan kehormatan Allah? Mereka berkata bahwa Tuhan Yesus “Dengan Beelzebul, penghulu setan, Ia mengusir setan” (Mat. 12:24). Artinya, mereka mengatakan bahwa anugerah dan pekerjaan Roh Kudus itu adalah perbuatan setan. Mereka memang belum mengetahui bahwa Roh Kudus adalah salah satu Oknum Allah. Akan tetapi, dari penuturan Markus tersebut – dan juga jika dibandingkan dengan kasus-kasus lainnya dalam ketiga Injil Sinoptik – dapat dipahami bahwa mereka mengetahui mujizat-mujizat kesembuhan yang Tuhan Yesus perbuat itu berasal dari Allah. Meskipun demikian terdorong oleh perasaan dengki dan untuk mempertahankan pengaruh dan kehormatan mereka di hadapan orang banyak, maka dengan meremehkan suara hati sendiri, mereka melawan kebenaran dan terang Allah dengan mengatakan bahwa mujizat-mujizat Allah itu dikerjakan dengan pertolongan Iblis.
Kata “penghujatan” dan “menghujat” berasal dari akar kata yang sama: “blasphemia” (blasphemy) dan “blasphemeoo” (to blaspheme, to slander). Kata menghujat lebih dari sekedar menolak atau meremehkan. Menurut Baxter, penghujatan adalah suatu tindakan menentang dengan kesadaran atau kesungguhan hati. Dalam penjelasan rasul Paulus, jika seseorang menghujat dalam keadaan tidak tahu (knowfully), maka dosa demikian masih bisa diampuni (lih. 1 Tim. 1:13). Dengan demikian, hujatan yang dilakukan oleh ahli-ahli Taurat sebagaimana dijelaskan dalam ayat 22, dan bahkan mereka mengatakan bahwa kuasa yang Yesus gunakan adalah kuasa Iblis, adalah penghujatan yang sesunguhnya, yakni dengan penuh kesadaran. Memang mereka belum mengenal Oknum Roh Kudus dan Anak sebagai satu kesatuan Allah Tritunggal, akan tetapi mereka dengan penuh kesadaran menolak mujizat yang Yesus kerjakan bahkan mengatakannya dari Iblis. Mereka menghina Yesus dengan perasaan dengki dan dendam hingga mengesampingkan fakta yang telah menguncangkan hati nuraninya, karena mereka tidak dapat melakukan perbuatan seperti yang Yesus lakukan.
Dalam Alkitab terjemahan LAI, Yesus menekankan bahwa dosa ini adalah dosa kekal: “. . . bersalah karena melakukan dosa kekal.” Kata-kata ini lebih baik diterjemahkan dengan ‘terlibat’ dalamnya, atau ‘bertanggung jawab’ atasnya (Yun.: enochos). Sikap yang tidak percaya sedemikian yang disengaja itu dapat dengan cepat mengeras menjadi suatu keadaan, di mana pertobatan, dan oleh karenanya juga pengampunan, menjadi tidak mungkin. Vincent Taylor, dalam Graham Swift (1988), menjelaskan jika seseorang takut bahwa bahwa ia mungkin melakukan dosa ini, maka justru ketakutan itu menjadi bukti yang jelas bahwa ia tidak melakukannya.

C. IMPLIKASI TEOLOGIS
Dalam perkembangan penafsiran teologi kontemporer, dosa ”menghujat Roh Kudus” diperluas dalam berbagai makna dan cakupan perbuatan tertentu. Dosa menghujat Roh Kudus tidak hanya dimaknai sebagaimana dilakukan oleh ahli Taurat (baca: orang Farisi) dalam kisah ketiga Injil Sinoptik tersebut, yakni menolak pekerjaan yang Allah lakukan dan mengatakannya dilakukan oleh Iblis. Belakangan ini, beberapa teolog mendaftarkan bahwa perbuatan murtad juga memiliki kualitas yang sama dengan tindakan penghujatan terhadap Roh Kudus. Demikian juga dengan perdukunan, okultisme, dan berbagai dimensi yang lain yang meremehkan Allah dan segala pekerjaan-Nya. Jika seseorang melakukan dosa tersebut di atas dengan penuh kesadaran, dan hingga akhir hayatnya, orang tersebut melakukan dosa (yang setara dengan) menghujat Roh Kudus.
Dalam pengajaran Yesus tentang tiga Oknum Tritunggal dalam Yohanes 14 dan 16, Ia secara sungguh-sungguh mengajarkannya kepada murid-murid-Nya misteri Tritunggal tersebut. Jika orang percaya yang telah mengerti hal tersebut melakukan hal yang sama seperti dilakukan oleh ahli-ahli Taurat itu, maka ia berbuat dosa yang kualitasnya sama dengan perbuatan para ahli Taurat tersebut.
Pada bagian lain dari Markus 3:20—30 dalam Alkitab, Yesus mengecam dosa terhadap Roh Kudus, berbunyi sebagai berikut: “Setiap orang yang mengatakan sesuatu melawan Anak Manusia, ia akan diampuni, tetapi barangsiapa menghujat Roh Kudus, ia tidak akan diampuni.” (Luk. 12:10; )
Ada beberapa interpretasi yang tidak tepat terhadap ayat ini dengan mengatakan bahwa Roh Kudus memiliki tingkatan yang lebih tinggi daripada Anak. Padahal, dalam konsep Allah Tritunggal tidak ada Pribadi yang lebih tinggi atau pun lebih rendah dibanding Pribadi lainnya. Mereka setara atau sederajat. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa Roh Kudus memiliki sifat yang lebih keras, sehingga tidak mau mengampuni kesalahan. Sementara Allah Anak mempunyai sifat yang murah hati dan suka mengampuni. Ini adalah interpretasi yang salah tentang dosa menghujat Roh Kudus, yang oleh Yesus disebut sebagai dosa yang tidak akan diampuni.
J. Verkuyl, dalam bukunya Etika Kristen: Bagian Umum, mengatakan bahwa menghujat Roh Kudus adalah dosa yang dilakukan dengan kesadaran yang luar biasa. Menurut Verkuyl, dosa ini hanya dapat timbul jika manusia di dalam batinnya yakin sepenuhnya akan kebenaran Injil dan akan arti pribadi dan pekerjaan Tuhan Yesus. Selanjutnya, Verkuyl menjelaskan bahwa menghujat Roh Kudus adalah satu-satunya dosa yang tidak akan pernah disesali oleh orang yang melakukannya, sebab orang yang melakukan dosa ini hatinya sudah menjadi keras sama sekali, yakni dengan penuh kesadaran mereka mempertahankan kebencian terhadap Kristus yang diurapi-Nya. Mengapa dosa ini tidak dapat diampuni? Verkuyl menjelaskan, dosa menghujat Roh Kudus dilakukan terus-menerus dan dengan penuh kesadaran menolak kesaksian Roh Kudus mengenai Kristus, Firman-Nya, dan karya-karya-Nya.
Jika dihubungkan dengan Firman Tuhan dalam Surat Ibrani, dijelaskan bahwa dosa menghujat Roh Kudus dapat terjadi dalam keadaan dimana (1) mereka yang pernah diterangi hatinya, (2) yang pernah mengecap karunia sorgawi, (3) pernah mendapat bagian dalam Roh Kudus, (4) pernah mengecap firman yang baik dari Allah dan karunia-karunia dunia yang akan datang, menghujat Allah dengan kesadaran yang tinggi (baca: penuh kesadaran). Orang percaya yang telah mengalami hal di atas, lalu murtad lagi dan tidak membuka hatinya untuk dibaharui sekali lagi oleh Roh Kudus, mempunyai peluang untuk melakukan penghujatan terhadap Roh Kudus. Dengan tegas, Rasul Paulus mengatakan: “Mereka telah menyalibkan Anak Allah untuk kedua kalinya dan menghina-Nya di muka umum” (Ibr. 6:4-6).
Seringkali ada orang yang berpikir bahwa ia kemungkinan telah melakukan dosa yang tidak akan diampuni ini. Hal yang dapat menjadi bukti bahwa seseorang tidak melakukan dosa yang tidak akan diampuni ini adalah ketika dalam hatinya ada keinginan untuk memperoleh pengampunan dosa dan kesediaan untuk bertobat. Tidak ada dosa yang tidak dapat diampuni selama seseorang bertobat dan datang memohon pengampunan dari Allah (Yes. 1:18; 1 Yoh. 1:9).

Jesus bless you.

Rabu, Februari 27, 2008

Rancangan Pembelajaran MPK Agama Kristen 2007/2008

BUKU RANCANGAN PEMBELAJARAN
MPK AGAMA KRISTEN




Disusun Oleh:
Bernat Jody A. Siregar, M.Th
(Koordinator MPK Agama Kristen PDPT/PMU UI)

























PROGRAM DASAR PENDIDIKAN TINGGI (PDPT)
UNIVERSITAS INDONESIA
SALEMBA - DEPOK
T.A. 2007/2008

-------------
KATA PENGANTAR

Buku Rancangan Pembelajaran (BRP) MPK Agama Kristen ini merupakan panduan bagi para dosen maupun mahasiswa Program Sarjana (Reguler) Universitas Indonesia dalam pelaksanaan pembelajaran (perkuliahan) di kelas. BRP ini, sebagaimana BRP matakuliah lain yang bernaung di bawah PDPT UI – PMU, dirancang untuk model pembelajaran active learning dengan memakai metode Collaborative Learning (pembelajaran yang berkolaborasi), Problem-Based Learning (pembelajaran berbasis masalah).
Keempat pemicu pembelajaran yang diangkat untuk setiap pokok bahasan di depan dipilih dari berbagai isu penting kontemporer yang berhubungan dengan eksistensi dan pergumulan iman Kristen, sehingga dimungkinkan adanya keterkaitan antara dogma secara teoritis dengan tingkah laku rohani sehari-hari secara ptaksis. Dengan model dan metode pembelajaran yang diterapkan dalam MPK Agama Kristen, mahasiswa sebagai komunitas akademik (intellectual capital) diharapkan dapat memberi alternatif solusi serta menjadi agen penerjemah kasih Kristus dalam semua dimensi hidupnya baik dalam pergaulan kampus maupun di luar kampus dengan berlandaskan iman Kristen yang alkitabiah.
BRP ini merujuk pada buku modul: Beriman dan Berilmu: Modul Pendidikan Agama Kristen untuk Perguruan Tinggi Umum yang ditulis oleh tim pengajar MPK Agama Kristen PDPT UI. Harapan saya, semoga BRP MPK Agama Kristen ini dapat menjembatani harapan PDPT UI, khususnya sasaran MPK Agama Kristen, melalui pelaksanaan model pembelajaran aktif student-centered. Tuhan memberkati.

Depok, 16 Januari 2008
Koordinator MPK Agama Kristen
PDPT/PMU UI


Bernat Jody A. Siregar, M.Th
KATA SAMBUTAN


Program Dasar Pendidikan Tinggi (PDPT) merupakan salah satu bentuk kegiatan yang diterapkan oleh Universitas Indonesia untuk dapat menjembatani dan menumbuhkan keterampilan belajar mandiri pada mahasiswa. Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) Agama Kristen adalah salah satu kelompok matakuliah universitas yang bernaung di bawah PDPT, berbobot 2 SKS, yang bertujuan untuk menambah wawasan pengetahuan mahasiswa dalam bidang agama masing-masing, sehingga dapat berperan dalam pembentukan kepribadian mahasiswa agar dapat bertumbuh menjadi pribadi yang teguh pada prinsip-prinsip moral yang diajarkan oleh agama

Buku Rancangan Pembelajaran (BRP) Agama Kristen ini disiapkan untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut di atas bagi mahasiswa Universitas Indonesia yang beragama Kristen, serta menjadi satu-satunya pedoman penyelenggaraan MPK Agama Kristen yang wajib digunakan oleh setiap dosen MPK Agama Kristen di lingkungan Universitas Indonesia.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Bernat Jody A. Siregar, M.Th selaku koodinator MPK Agama Kristen yang telah berhasil menyiapkan Buku Rancangan Pembelajaran (BRP) Agama Kristen ini.



Depok, 27 Agustus 2007
Direktur Pendidikan UI


Ir. Muhammad Anis, M.Met., Ph.D



DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR
Oleh Koordinator MPK Agama Kristen PDPT UI
KATA SAMBUTAN
Oleh Direktur Pendidikan UI
DAFTAR ISI
BAB I. INFORMASI UMUM
BAB II. SUBSTANSI KAJIAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN
(MENURUT RAMBU-RAMBU PELAKSANAAN
MPK AGAMA OLEH DIRJEN DIKTI DEPDIKNAS)
A. Substansi Kajian Pendidikan Agama Kristen (menurut Rambu-rambu Pelaksanaan MPK Agama Kristen oleh Dirjen Dikti Depdiknas
B. Nilai yang Diharapkan dalam Kurikulum Pendidikan Tinggi
BAB III POKOK BAHASAN DAN SUBPOKOK BAHASAN
A. GARIS BESAR MATERI PERKULIAHAN (Sesuai dengan Modul MPK Agama Kristen: Beriman dan Berilmu.
B. Bagan Urutan Pokok Bahasan
C. Pokok Bahasan I: Dasar Iman Kristen
D. Pokok Bahasan II: Manusia: Mahluk Religius, Bermoral, dan Berbudaya
E. Pokok Bahasan III: Agama, Negara, dan Kerukunan Umat Beragama
F. Pokok Bahasan IV: Agama dan IPTEKS
BAB IV. EVALUASI
BAB V SILABUS PERKULIAHAN




BAB I
INFORMASI UMUM


1. Nama Matakuliah : MPK Agama Kristen
2. Lembaga Pendidikan : Universitas Indonesia
3. Status : Mata Ajaran Wajib Universitas
4. Diberikan kepada : Mahasiswa UI Semester II
5. Kode Matakuliah : UUI 12101
6. Jumlah Kredit : 2 sks
7. Jumlah jam/waktu per minggu : 2 jam per minggu (2 x 1 jam sks)
8. Prasyarat Mahasiswa : Harus mengikuti Orientasi Belajar Mahasiswa (OBM) prakuliah
9. Kedudukan Mata Ajaran : MPK Agama Kristen adalah matakuliah
wajib universitas pada semester I atau II
10. Penyusun Materi Ajar : Koordinator MPK Agama Kristen
11. Fasilitator : Anggota tim MPK Agama Kristen yang telah menikuti pelatihan fasilitator PDPT dan bersertifikat mengajar.












BAB II
SUBSTANSI KAJIAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN (MENURUT RAMBU-RAMBU PELAKSANAAN MPK AGAMA OLEH DIRJEN DIKTI DEPDIKNAS)


A. Substansi Kajian Pendidikan Agama Kristen (menurut Rambu-rambu Pelaksanaan MPK Agama oleh Dirjen Dikti Depdiknas)
1. Tuhan Yang Maha Esa dan Filsafat Ketuhanan
2. Manusia
3. Moral
4. Masyarakat
5. Politik
6. Hukum
7. Budaya
8. Kerukunan antar Umat Beragama
9. Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Seni

B. Nilai Pendidikan Agama yang Diharapkan dalam Kurikulum Pendidikan Tinggi

1. Learning to be Menuntun seseorang dalam menggali ilmu pengetahuan (science) untuk menentukan nilai kehidupan dalam bermasyarakat melalui kompetensi yang dimilikinya dari hasil belajar di pendidikan tinggi.
2. Learning to know • Pemahaman adanya peluang untuk pendekatan ilmiah, tidak hanya secara empirisme-logico-verifikatif, tetapi juga secara objektif-transendental.
• Menuntun seorang ilmuan untuk menentukan batas penjelasan ilmu berdasarkan kebenaran agama masing-masing.
3. Learning to do Menuntun seorang ilmuan untuk dapat menentukan batas penjelajahan berkarya (jenis dan caranya) berdasarkan kebenaran agama masing-masing.
4. Learning to live together Menuntun seorang ilmuan menjadi anggota masyarakat yang bermoral serta berguna dan bermanfaat bagi dirinya sendiri, masyarakat maupun umat manusia secara keseluruhan sebagai refleksi keagamaan dalam cipta, karsa, dan karya.


BAB III
GARIS BESAR MATERI PERKULIAHAN
(Sesuai dengan Modul MPK Kristen: “Beriman dan Berilmu”)

A. Pokok Bahasan dan Lingkup Subpokok Bahasan

PENGANTAR PERKULIAHAN
1. Sejarah Munculnya Agama-agama Dunia – (Asal-usul Agama Kristen)
2. PROLOG: Pentingnya Pengajaran Doktrin Kristen yang Alkitabiah

POKOK BAHASAN I
DASAR IMAN KRISTEN
1. Keberadaan Alkitab dan Relevansinya bagi Kehidupan Kristen
2. Bukti-bukti Keberadaan Allah
3. Hakikat dan Sifat-sifat Allah
4. Doktrin Allah Tritunggal
5. Kristus: Tuhan dan Juruselamat Manusia
6. Keselamatan Manusia

POKOK BAHASAN II
MANUSIA: MAHLUK RELIGIUS, BERMORAL, DAN BERBUDAYA
7. Memahami Keberadaan Manusia
8. Peranan Roh Kudus dalam Kehidupan Orang Percaya
9. Keberdosaan Manusia dan Implikasinya
10. Dasar Pertimbangan Moral (Etika) Kristen
11. Manusia dan Mandat Kebudayaan
12. Kekristenan dan Kebudayaan

POKOK BAHASAN III
GEREJA, NEGARA, DAN KERUKUNAN ANTARUMAT BERAGAMA
13. Religiositas Manusia dan Keberadaan Agama
14. Fungsi Sosial Agama
15. Hubungan Gereja dan Negara
16. Gereja dan Dialog antar Umat Beragama
17. Dasar Berpikir Hidup dalam Masyarakat Majemuk
18. Humanitas dan Kepeduliaan Sosial

POKOK BAHASAN IV
AGAMA DAN IPTEKS
19. Iman dan Rasio: Dua Hal yang Paradoks?
20. Sejarah Perkembangan IPTEKNI di Barat dan Pengaruhnya secara Global
21. Hubungan Sains dan Agama
22. Iman Kristen dan Isu-isu Kontemporer
23. Berbagai Aliran Atheisme Modern
24. Aspek Etis-Teologis dari Perkembangan IPTEK

KULIAH PENUTUP: KAPITA SELEKTA ETIKA KRISTEN

B. Bagan Urutan Pokok Bahasan











C. Pokok Bahasan I: Pokok-pokok Ajaran Kristen

Lingkup Subpokok Bahasan:
1. Keberadaan Alkitab dan Relevansinya bagi Kehidupan Kristen
2. Bukti-bukti Keberadaan Allah
3. Hakikat dan Sifat-sifat Allah
4. Doktrin Allah Tritunggal
5. Kristus: Tuhan dan Juruselamat Manusia
6. Keselamatan Manusia

Sasaran Pembelajaran
Setelah pembelajaran ini selesai, mahasiswa mampu:
1. Memahami dogma Kristen yang mendasar secara komprehensif;
2. Menjelaskan doktrin-doktrin pokok Kristen dalam konsep trinitarian;
3. Membedakan ajaran Kristen yang alkitabiah dengan yang tidak alkitabiah;
4. Mengategorikan berbagai aliran (denominasi) Kristen dan berbagai sekte atau aliran sesat (dan nabi palsu) dari kalangan Kristen sepanjang sejarah kekristenan.
5. Menyimpulkan kesalahan-kesalahan doktrinal dari berbagai sekte atau aliran sesat dari kalangan Kristen secara alkitabiah.

Indikator:
1. Memahami keberadaan Alkitab dan relevansinya bagi kehidupan Kristen pada masa kini;
2. Menjadikan Alkitab sebagai dasar pembangunan pemahaman teologis dan evaluasi terhadap berbagai ajaran;
3. Menjelaskan bukti-bukti keberadaan Allah melalui bukti-bukti filosofis, umum, dan khusus;
4. Membedakan konsep yang benar dan salah tentang doktrin Allah Tritunggal;
5. Mendaftarkan berbagai pemahaman yang salah dalam memahami keberadaan Allah dan doktrin Allah Tritunggal;
6. Mengakui keberadaan Allah dalam konsep trinitarian dalam kehidupan yang konkrit;
7. Memahami konsep keselamatan dalam Yesus Kristus secara alkitabiah;
8. Mengakui Yesus sebagai Tuhan yang berdaulat dalam segala aspek hidup manusia dan pembawa keselamatan dan shalom bagi dunia;
9. Mendaftarkan berbagai sekte atau aliran sesat di kalangan Kristen sepanjang sejarah kekristenan.
10. Menjelaskan kesalahan doktrinal sekte atau aliran sesat di kalangan Kristen secara alkitabiah.

Metode: Collaborative Learning (CL)

Pemicu I
Nabi Palsu dan Aliran Sesat di Kalangan Kristen
Pada tahun 2003, umat Kristen Indonesia dikejutkan oleh munculnya sebuah sekte yang dipimpin oleh Pendeta Mangapin Sibuea dengan nama sektenya Pondok Nabi; oleh kalangan umum disebut "SEKTE GEREJA KIAMAT". Dalam wawancara yang dimuat dalam majalah Tempo (23/11,2003), tentang kapan kiamat akan terjadi, Pendeta Mangapin Sibuea mengatakan bahwa kiamat dalam arti semua manusia musnah akan terjadi pada tanggal 10 Mei 2007. Namun, hingga Oktober 2007 hal tersebut tidak terbukti terjadi.
Nabi-nabi baru tetap bermunculan dengan ajaran baru menurut 'modifikasi' mereka, artinya mereka membuat suatu persepsi lalu kemudian 'memperkosa' kitab suci dengan mengutip isinya yang dianggap mendukung argumen mereka, lalu mereka menyebutnya ajaran yang bersumber pada alkitab, alias alkitabiah. Tidak ada yang benar-benar baru dari mereka; ajaran-ajaran mereka rata-rata mengadopsi sebagian besar dari kitab-kitab suci agama besar yang sudah ada.
Diluar negeri, beberapa nabi palsu atau sekte sesat di kalangan Kristen yang patut dicatat adalah: (1) The Restoration of Ten Commandments (Pemulihan Sepuluh Perintah Tuhan)" di Uganda, yang dipimpin oleh Joseph Kibweteere. Sekte ini menganggap kiamat akan tiba pada 31 Desember 1999; (2) Sekte People's Temple (Kuil Rakyat) pimpinan Jim Warren Jones (Jim Jones), meminum jus anggur yang telah dicampur dengan racun. (3) Sekte Sons Of God yang dipimpin David Koresh, yang membakar diri beserta para pengikutnya, (4) Pengikut The Order of Solar Temple (Kuil Tata Surya) yang terdiri dari 53 warga Swiss dan Kanada beserta pimpinan mereka Luc Jouret membakar diri. Dia Juga Yakin kiamat akan tiba. (5) Sekte Aum Shinrikyo (Sekte Kebenaran Tertinggi di Jepang), yang dipimpin Shoko Asahara. Dalam bukunya Disaster Approaches the Land of the Rising Sun, Asahara menyatakan bahwa Kiamat akan datang lewat gas awan dari Amerika, (6) Sekte Heaven's Gate sepuluh tahun yang lalu juga menggemparkan dunia dengan 39 orang pengikutnya tewas bertebaran di dalam sebuah bangunan. Mereka termakan rayuan Marshall Herf Applewhite, yang pernah mengaku dirinya Yesus Kristus. Mereka menunggu munculnya UFO, yang diyakini akan menjadi kiamatnya kehidupan bumi, (7) Monte Kim Miller pemimpin sekte Concerned Christians, beserta sekitar 50 anggotanya meninggalkan Denver, Colorado. Mereka menjual seluruh harta benda seperti rumah, tanah atau barang-barang lain, mereka menuju Yerusalem. Menurut Miller, mereka akan mati di sana pada 31 Desember 1999 dan akan diangkat ke langit tiga hari sesudahnya.
Semua ajaran sesat, baik yang di tanah air maupun di luar negeri selalu memanfaatkan celah dari kondisi dan situasi masyarakat yang mengalami tekanan hidup, bimbang, dan pengetahuan tentang agamanya tidak memadai. Ajaran sesat dan nabi palsu akan terus bermunculan selama himpitan hidup semakin berat dan menuju surga dianggap sebagai jalan keluarnya.

Sumber: ”Nabi Palsu & Aliran Sesat dari Kalangan Kristen”
http://antohurt.multiply.com/journal/item/29, 16 Januari 2008

Tugas:
1. Diskusikanlah pemicu di atas dalam Focus Group (FG) dengan mengacu pada lingkup subpokok bahasan.
2. Diskusikanlah hasil diskusi FG ke dalam Home Group (HG).
3. Buatlah materi presentasi yang merupakan hasil diskusi HG, lalu dipresentasikan.

Pertanyaan Penggiring
(Pemicu: Nabi Palsu dan Aliran Sesat di Kalangan Kristen)
 Diskusi Focus Group (FG)
o Menurut Anda, mengapa suatu aliran disebut sesat?
o
 Diskusi Home Group (HG)
 Pleno

Daftar Pustaka
Abineno, J.L. Ch. 1989. Pokok-pokok Penting dari Iman Kristen. Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
Baker, David L. 1996. Roh dan Kerohanian dalam Jemaat: Tafsiran Surat
Korintus 12-14. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Barackman, Floyd H. 1998. Practical Christian Theology: Examining the Great
Doctrine of the Faith. Grand Rapids, Michigan: Kregel Publications
Becker, Dieter. 1996. Pedoman Dogmatika: Sebuah Dogmatika Singkat. Cet. III.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Berkhof, Louis. 2006. Teologi Sistematika. Surabaya dan Jakarta: Penerbit
Momentum dan Lembaga Reformed Injili Indonesia.
Geisler, Norman L. 2003. Etika Kristen: Pilihan dan Isu. Cet. IV. Malang: SAAT.
Hadiwijono, Harun. 2003. Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Lohse, Bernhard. 2001. Pengantar Sejarah Dogma Kristen. Cet. IV. Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
Ryrie, Charles. 1986. Teologi Dasar: Panduan Populer untuk Memahami
Kebenaran Allah. Yogyakarta: Penerbit ANDI.
Siregar, Bernat & Poltak YP Sibarani. 2004. Beriman dan Berilmu. Jakarta:
Ramos Gospel Publihers
Siregar, Bernat, et al. 2007. Menabur Iman, Menuai Ilmu: Modul MPK Agama
Kristen untuk Perguruan Tinggi Kristen. Bekasi: CV. Karya Mulia
Tong, Stephen. Roh Kudus, Suara Hati, dan Setan. Cet. II. Jakarta: Lembaga
Reformed Injili Indonesia.
Trisna, Jonathan. 2001. Berpacaran dan Memilih Teman Hidup. Jakarta:
Lembaga Pendidikan Theologia Bethel.
------ 1993. Konseling Pranikah. Jakarta: Lembaga Pendidikan Theologia Bethel.
------ 1998. Mengatasi Masalah Hidup. Cet.II. Jakarta: Lembaga Pendidikan
Theologia Bethel.
------ 2001. Pernikahan Kristen: Suatu Usaha dalam Kristus. Lembaga
Pendidikan Theologia Bethel.
Verkuyl, J. 1993. Etika Kristen Jilid II: Seksuil. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

D. Pokok Bahasan II
MANUSIA: MAHLUK RELIGIUS, BERMORAL, DAN BERBUDAYA

Lingkup Subpokok Bahasan
1. Memahami Keberadaan Manusia
2. Peranan Roh Kudus dalam Kehidupan Orang Percaya
3. Keberdosaan Manusia dan Implikasinya
4. Dasar Pertimbangan Moral (Etika) Kristen
5. Manusia dan Mandat Kebudayaan
6. Kekristenan dan Kebudayaan

Sasaran Pembelajaran
Setelah pembelajaran ini selesai, mahasiswa mampu:
1. Memahami keberadaan manusia sebagai gambar dan rupa Allah (Imago Dei) dan tanggung jawabnya sebagai mandataris Allah dalam pengembangan kehidupan masyarakat yang bermartabat dan kebudayaan manusia yang berpihak kepada yang lemah;
2. Memahami hakikat keberdosaan dan kemuliaan manusia dan pengaruhnya dalam berbagai dimensi hidupnya sebagai dasar pertimbangan dan pengembangan etika Kristen;
3. Menguraikan dasar pertimbangan dan pengembangan moral (etika) Kristen secara alkitabiah, kontekstual, dan relevan dengan konteks zamannya;
4. Menunjukkan sikap pemuliaan manusia, khususnya pengakuan martabat dan hak perempuan dalam segala aspek hidup yang nyata;
5. Memecahkan persoalan penindasan gender dan kekerasan terhadap wanita dalam bentuk tulisan ilmiah maupun berbabagi alternatif solusi secara praksis.

Indikator:
1. Memahami keberadaan manusia sebagai gambar dan rupa Allah (Imago Dei) dan tanggung jawabnya sebagai mandataris Allah;
2. Menjelaskan keberadaan Roh Kudus menurut doktrin Alkitab;
3. Mengakui keberadaan Roh Kudus dan peranannya dalam kehidupan sehari-hari orang percaya;
4. Menunjukkan perbuatan dosa dalam Alkitab dan contoh-contoh lain dan implikasinya dalam kehidupan manusia;
5. Memahami dasar pertimbangan moral/etika Kristen secara alkitabiah;
6. Mempertimbangkan tindakan etis yang kontekstual, relevan, dan alkitabiah;
7. Memahami hubungan kekristenan dan perkembangan kebudayaan masyarakat manusia;
8. Menjelaskan hakikat manusia dan mandat pengembangan kebudayaan;
9. Menunjukkan dan mengategorikan bukti-bukti penindasan gender dan kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk kebudayaan manusia dan kehidupan sehari-hari secara konkrit;
10. Mengevaluasi berbagai bentuk penindasan gender dan kekerasan terhadap wanita dalam terang iman Kristen.

Metode: Collaborative Learning (CL)
Pemicu II:
Penindasan Gender dan Kekerasan terhadap Anak
Dalam kenyataan sehari-hari, konsep ‘kesejajaran’ laki-laki dan perempuan belum seperti yang diharapkan. Umumnya wanita digariskan untuk menjadi istri dan ibu. Sejalan dengan itu, stereotipe yang dikenakan pada wanita (baca: istri) adalah mahluk yang emosional, pasif, lemah, dependen, dekoratif, tidak asertif dan kompeten kecuali untuk tugas rumah tangga. Berbagai ungkapan dalam masyarakat sering merendahkan kaum perempuan entah dalam kemampuan maupun statusnya. Contoh konkret sebuah sindiran seorang perempuan ala Jawa: “Camkan, bahwa lanang berarti ala-ala menang”. Artinya, “Sejahat-jahatnya laki-laki terhadap perempuan, ia akan memang atau dimenangkan”. Ini adalah suara (jeritan) kaum perempuan yang memang haknya dibatasi/dijajah.
Dalam banyak kepustakaan, peranan besar kaum wanita dalam pekerjaan dan pendapatan tidak selalu diikuti oleh meningkatnya kedudukan, otonomi atau pun kekuasaan mereka dalam rumahtangga dan masyarakat. Sering keterampilan kerja wanita dalam praktiknya tidak berbeda dengan pria, misalnya pada buruh, namun ruang geraknya dibatasi oleh nilai-nilai gender di rumahtangga dan di tempat kerja.
Dalam bagian-bagian tertentu dalam pelayanan gerejawi, ruang gerak wanita sering dibatasi, dan bahkan diabaikan. Ada beberapa gereja yang tidak mengijinkan wanita untuk berkhotbah. Ada pula yang masih memberikan kesempatan untuk berkhotbah di mimbar gereja, tetapi tidak diberi kesempatan untuk melayankan pelayanan-pelayanan pastoral (penggembalaan) penting lainnya. Kaum perempuan, yang walaupun dalam kemampuan studi dan kemampuan yang lain dalam pelayanan gerejawi boleh dikatakaan sama dengan kaum laki-laki, tetapi diberlakukan berbeda. Misalnya, wanita tidak boleh memimpin sakramen Perjamuan Kudus, sakramen Pembaptisan Kudus, pemberkatan nikah. Dalam beberapa gereja, misalnya, wanita/ibu tidak diperbolehkan menjadi pemimpin liturgi dalam ibadah formil; wanita tidak boleh memimpin suatu sidang jemaat (menjadi gembala jemaat).
Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan-penderitaan pada perempuan secara fisik, seksual, dan psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam lingkungan kehidupan pribadi. Seringkali kekerasan pada perempuan terjadi karena adanya ketimpangan atau ketidakadilan jender. Ketimpangan jender adalah perbedaan peran dan hak perempuan dan laki-laki di masyarakat yang menempatkan perempuan dalam status lebih rendah dari laki-laki. “Hak istimewa” yang dimiliki laki-laki ini seolah-olah menjadikan perempuan sebagai “barang” milik laki-laki yang berhak untuk diperlakukan semena-mena, termasuk dengan cara kekerasan.
Akhir-akhir ini juga kekerasan terhadap anak menjadi sorotan Komnas HAM Perlindungan Anak yang diketuai oleh Seto Mulyono, atau akrab disebut Kak Seto. Berbagai bentuk kekerasan terhadap anak mengemuka setelah munculnya UU Perlindungan terhadap Perempuan dan Anak.

Tugas:
1. Lakukanlah kegiatan diskusi sesuai dengan tahapan kegiatan PBL.
2. Buatlah Presentasi dan Makalah sebagai hasil Laporan Kelompok.

Daftar Pustaka
Abineno, J.L. Ch. 2003. Manusia dan Sesamanya di dalam Dunia. Jakarta: BPK
Gunung Mulia.
Bertens, K. Etika. 2001. Jakarta: Unika Atma Jaya.
Brown, Collin. 1994. Filsafat dan Iman Kristen. Jakarta: LRII.
Brownlee, Malcolm. 2000. Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor di
dalamnya. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Darmaputra, Eka. 2000. Etika Sederhana untuk Semua. Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
Hadiwardojo, Al. Purwa. 1990. Moral dan Masalahnya. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Hadiwiyono, Harun. 1990. Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia..
Kiesser, Bernhard. 1989. Moral Sosial. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Kristiyanto, Eddy. 2001. Etika Politik dalam Konteks Indonesia: Pesta 65 Tahun
Romo Magnis. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Niebuhr, Reinhold. 1994. The Children of Light and the Children of Darkness: A
Vindication of Democracy and ACritique of Its Traditional Defense. New York: Charles Scribner’s Sos.
Sitompul, A.A. 2000. Manusia dan Budaya. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Supardan, M.A. 1991. Ilmu, Teknologi, dan Etika. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Suseno, Frans Magnis. 2001. Etika Dasar: Masalah Pokok Filsafat Moral.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sutrisno, Mudji. 2004. Ide-ide Pencerahan. Jakarta: Penerbit Obor.
Stot, John. 1994. Isu-isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani: Penilaian
atas Masalah Sosial dan Moral Kontemporer. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih.
Tong, Stephen. 1996. Iman, Rasio, dan Kebenaran. Jakarta: Institut Reformed dan
Stephen Tong Evangelistic Ministries International.
Turner, Bryan S. 2003. Agama dan Teori Sosial: Rangka Pikir Sosiologi dalam
Membaca Eksistensi Tuhan di antara Ideologi-ideologi Kontemporer.
Yogyakarta: Penerbit Ircisod.
Verkuyl, J. 1997. Etika Kristen: Bagian Umum. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Weber, Max. 1956. The Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism. New York:
Charles Scribner’s Sons.
White, Jerry & Mary. terj. oleh Stephen Suleman. 1977. Pemahaman Kristiani
tentang Bekerja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.


E. Pokok Bahasan III
GEREJA, NEGARA, DAN KERUKUNAN UMAT BERAGAMA

Lingkup Subpokok Bahasan:
1. Religiositas Manusia dan Keberadaan Agama
2. Fungsi Sosial Agama
3. Gereja dan Dialog antar Umat Beragama
4. Dasar Berpikir Hidup dalam Masyarakat Majemuk
5. Humanitas dan Kepeduliaan Sosial
6. Hubungan Gereja dan Negara

Sasaran Pembelajaran
Setelah selesai kegiatan pembelajaran, mahasiswa mampu:
1. Memahami keberadaan agama dan fungsinya dalam membangun kehidupan sosial yang bermartabat dan kondusif;
2. Mengembangkan etika kemajemukan dan berbagai sikap yang positif dalam merajut dialog karya dan dialog kehidupan antarumat beragama di Indonesia;
3. Mengevaluasi moral sosial dan moral politik Kristen kontemporer dengan pendekatan yang alkitabiah, kontekstual, dan relevan dalam kehidupan berjemaat, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
4. Memberi alternatif solusi dalam pemecahan hubungan antar penganut agama yang lebih kondusif di Indonesia.

Indikator
1. Meredaksi ulang pengertian agama dan peranannya dalam kehidupan masyarakat;
2. Menunjukkan sikap kasih, toleran, dan etika kemajemukan sesuai dengan dogma Kristen;
3. Memahami hakikat dialog dalam membangun dialog antar umat beragama;
4. Menjelaskan etika kemajemukan menurut Alkitab;
5. Menyebutkan dan menjelaskan ayat-ayat Alkitab yang berbicara tentang moral sosial dan politik Kristen.
6. Mengidentifikasi persoalan hubungan antar agama dan penyebabnya;
7. Menunjukkan sikap kritis terhadap peran organisasi Kristen dalam politik praktis.
8. Menerapkan prinsip dasar moral sosial dan politik Kristen dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia yang majemuk;
9. Mengkritisasi peran gereja dan organisasi massa atau organisasi politik Kristen tentang keterlibatannya untuk membangun hubungan antar agama yang kondusif dalam masyarakat Indonesia yang majemuk;
10. Mengupayakan pemecahan masalah dalam kemelut hubungan antar agama di Indonesia.
Metode: Problem-Based Learning (PBL)

Pemicu III:
Iman, Kristen, dan Partai Politik Kristen
Reformasi dalam segala hal tatanan hidup bangsa Indonesia, sejak lengsernya pemerintahan Orde Baru, telah membuahkan hasil yang signifikan, khususnya demokrasi politik bangsa. Fakta ini tidak bisa dibantah. Orde Baru sudah runtuh, namun arah dan tujuan semangat reformasi harus dikaji ulang.
Umat Kristen, sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia, turut meramaikan pesta reformasi dan demokrasi tersebut. Menjelang Pemilu I pasca Mei 1998, beberapa organisasi politik Kristen mendaftarkan diri di KPU dan salah satu di antaranya ikut dalam Pemilu tahun 2000. Setelah perhitungan suara selesai, partai tersebut tampaknya tidak mendapat quota untuk Pemilu berikutnya. Pada Pemilu 2004, muncul lagi sebuah partai politik Kristen. Mereka sangat yakin akan mendapatkan suara yang signifikan melebihi quota yang telah ditentukan oleh KPU. Alhasil, nasibnya pun sama dengan partai sebelumnya.
Bagaimanakah seharusnya sikap (moral) orang Kristen terhadap persoalan politik praktis? Bolehkah orang Kristen berpolitik? Bolehkah Gereja berpolitik? Pantaskah simbol-simbol rohani Kristen dipertaruhkan dalam mendapatkan dukungan massa? Benarkah politisi dari parpol Kristen tersebut menyuarakan suara kenabian dan bersikap seperti Kristus?
Adakah hubungan antara Iman dan Politik? Inilah pertanyaan yang tidak selalu mudah dijawab. Kalau dijawab bahwa hubungan itu ada, pertanyaan lanjutannya adalah bagaimana hal itu diungkapkan. Agaknya pertanyaan ini makin mendesak untuk diajukan, khususnya di Indonesia, setelah sekian banyak partai politik Kristen dibentuk, di samping sekian banyak orang-orang Kristen yang aktif di dalam partai-partrai non-Kristen, tentu saja dengan alasannya masing-masing.
Terlepas dari alasan yang cenderung praktis-pragmatis, mungkin baik kalau dipertanyakan secara mendalam, apakah ada perbedaan (boleh dibaca: adakah dampaknya dalam masyarakat) apabila seorang Kristen terlibat dan atau tidak terlibat dalam politik? Sumbangan apakah yang diberikan bagi kebaikan bersama apabila mereka terlibat dan sungguh-sungguhkah masyarakat merasa kehilangan apabila mereka tidak terlibat? Kalau mereka terlibat, sungguhkah mereka dimotivasi oleh imannya, atau hanya sekedar "mengalir" bersama trend di dalam masyarakat?

Tugas:
3. Lakukanlah kegiatan diskusi sesuai dengan tahapan kegiatan PBL.
4. Buatlah Presentasi dan Makalah sebagai hasil Laporan Kelompok.

Daftar Pustaka
Abineno, J.L. Ch. 2003. Manusia dan Sesamanya di dalam Dunia. Jakarta: BPK
Gunung Mulia.
Bertens, K. Etika. 2001. Jakarta: Unika Atma Jaya.
Brownlee, Malcolm. 2000. Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor di
dalamnya. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Darmaputra, Eka. 2000. Etika Sederhana untuk Semua. Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
Hadiwardojo, Al. Purwa. 1990. Moral dan Masalahnya. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Hendropuspito. 1984. Sosiologi Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Jonge, Ch. de. 1986. Menuju Keesaan Gereja: Sejarah, Dokumen-dokumen, dan
Tema-tema Gerakan Oikumenis. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Kiesser, Bernhard. 1989. Moral Sosial. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Kristiyanto, Eddy. 2001. Etika Politik dalam Konteks Indonesia: Pesta 65 Tahun
Romo Magnis. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Ngelow, Zakaria J. 1996. Kekristenan dan Nasionalisme: Perjumpaan Umat
Kristen Protestan dengan Pergerakan Nasional Indonesia 1900 – 1950. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Niebuhr, Reinhold. 1994. The Children of Light and the Children of Darkness: A
Vindication of Democracy and ACritique of Its Traditional Defense. New York: Charles Scribner’s Sos.
Pattiasina, J..M. dan W. Sairin. 1996. Gerakan Oikumene Tetap Tegar di Bumi
Pancasila: Buku Peringatan 40 Tahun PGI. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Prayitno, H.A. dan Trubus M.S. 2004. Etika Kemajemukan: Solusi Strategis
Merenda Kebersamaan dalam Bingkai Masyarakat Majemuk. Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2004.
Rakhmat, Jalaluddin. 2004. Psikologi Agama: Sebuah Pengantar. Jakarta:
Penerbit Mizan.
Sairin, W & J.M. Pattiasina. 1993. Gerakan di Bumi Pancasila, Oikumene Tegar
Mekar: Buku Peringatan 40 Tahun PGI. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
---------- 1996.. Hubungan Gereja dan Negara dan Hak-hak Azasi Manusia.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Sibarani, Poltak Y.P. 2004. Bolekah Gereja Berpolitik: Mencari Pola Hubungan
Gereja dan Negara yang Relevan di Indonesia. Jakarta: Ramos Gospel Publisher.
---------- 2001. Hubungan Gereja dan Negara dalam Negara Pancasila:
Sumbangsih Gereja dalam Membentuk Mayarakat Indonesia Baru berdasarkan Pancasila. STT Jakarta: Tesis, 2001.
Sinaga, M.L. 2001. Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia: Teks-teks
Terpilih Eka Darmaputra. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Suseno, Frans Magnis. 2001. Etika Dasar: Masalah Pokok Filsafat Moral.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sutrisno, Mudji. 2004. Ide-ide Pencerahan. Jakarta: Penerbit Obor
Stot, John. 1994. Isu-isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani: Penilaian
atas Masalah Sosial dan Moral Kontemporer. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih.
TIM Balitbang PGI. 2003. Meretas Jalan Teologi Agama-agama di Indonesia:
Theologia Religionum. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Turner, Bryan S. 2003. Agama dan Teori Sosial: Rangka Pikir Sosiologi dalam
Membaca Eksistensi Tuhan di antara Ideologi-ideologi Kontemporer.
Yogyakarta: Penerbit Ircisod.
Verkuyl, J. 1997. Etika Kristen: Bagian Umum. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Weber, Max. 1956. The Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism. New York:
Charles Scribner’s Sons.

F. Pokok Bahasan IV: Agama dan IPTEKNI

Lingkup Subpokok Bahasan:
1. Iman dan Rasio: Dua Hal yang Paradoks?
2. Sejarah Perkembangan IPTEKNI di Barat dan Pengaruhnya secara Global
3. Hubungan Sains dan Agama
4. Iman Kristen dan Isu-isu Kontemporer
5. Berbagai Aliran Atheisme Modern
6. Aspek Etis-Teologis dari Perkembangan IPTEK

Sasaran Pembelajaran
Setelah selesai kegiatan pembelajaran, mahasiswa mampu:
1. Memahami perkembangan IPTEKS dan dampaknya dalam kehidupan manusia;
2. Mendeskripsikan tipologi hubungan antara agama dan IPTEKS;
3. Mengategorikan perkembangan IPTEKS yang bertentangan dengan iman Kristen;
4. Mengevaluasi setiap isu kontemporer yang menggungat iman Kristen.


Indikator
1. Memahami hubungan iman dan rasio secara benar;
2. Menguraikan sejarah perkembangan IPTEKS dan pengaruhnya secara global;
3. Menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah wujud perkembangan kebudayaan manusia;
4. Mendeskripsikan tipologi hubungan sains dan agama;
5. Merincikan berbagai isu-isu kontemporer yang berhubungan dengan iman Kristen;
6. Menjelaskan berbagai aliran besar atheisme modern dan wujudnya dalam kehidupan manusia;
7. Menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi adalah wujud perkembangan kebudayaan manusia.
8. Mengambil sikap yang tegas untuk menolak berbagai isu kontemporer yang bertentangan dengan iman Kristen;
9. Mengkaji tindakan kloning manusia dari berbagai perspektif, khususnya dari perpspektif Alkitab, dan menjelaskan dampak-dampaknya;
10. Memberi alternatif solusi dalam penerapan IPTEKS yang manusiawi dan sesuai dengan iman Kristen.

Pemicu IV:
Kloning Manusia
Para ilmuwan Inggris, untuk kali pertama, memperoleh izin untuk melakukan kloning terapi menggunakan embrio manusia. Otoritas Embriologi dan Kesuburan Manusia (HFEA) memberi izin tersebut kepada para pakar di Universitas Newcastle. Mereka sedang menyelidiki pengobatan-pengobatan baru terhadap pasien diabetes, Parkinson, Alzheimer, dan jantung.
Keputusan yang kontroversial itu bisa membuka era baru riset bagi para ilmuwan yang berupaya mencari obat untuk penyakit-penyakit serius tersebut. Riset tersebut akan berlangsung di Pusat Kehidupan Internasional di Newcastle, melibatkan para pakar dari Institut Genetika Manusia di Universitas Newcastle, dan Pusat Kesuburan Newcastle. Para ilmuwan itu yakin untuk kali pertama persetujuan semacam itu diberikan di Eropa, begitu juga di Inggris.
Mereka memperingatkan bahwa perlu waktu paling tidak lima tahun - atau mungkin lebih - sebelum pasien bisa menerima pengobatan sel induk berdasar riset tersebut. Namun ProLife Party menyatakan pihaknya sedang mempertimbangkan tantangan hukum terhadap keputusan HFEA untuk mengizinkan riset tersebut.
Kloning terapi dibolehkan di Inggris sejak 2001. Kloning tersebut dilakukan untuk alasan medis. Meski ilmu pengetahuannya serupa, tekniknya berbeda dari kloning reproduksi, yang dimaksudkan untuk membuat tiruan manusia. Teknik kloning itu, yang dikenal sebagai pemindahan inti sel (CNR) meliputi pemindahan inti sel telur manusia dan menggantinya dengan inti dari sel tubuh manusia, seperti sel kulit. Telur itu kemudian dibuahi secara buatan. Pembuahan itu menyebabkan telur terbelah dan menunjukkan reaksi sama seperti pembuahan embrio standar oleh sperma.
Penggunaan telur tersebut diabaikan pada pengobatan IVF. Telur-telur itu disumbangkan oleh pasangan, dan sisanya dirusak. Profesor Alison Murdoch dari Pusat Kesuburan NHS Newcastle, yang memimpin riset tersebut, mengatakan prospek riset itu ''sangat menggembirakan''. ''Riset ini mungkin memberikan pengetahuan berharga bagi perkembangan banyak penyakit.''(bbc-niek-46)

Disadur dari ”Inggris Izinkan Kloning Manusia”
http://www.suaramerdeka.com/harian/0408/13/nas10.htm

Tugas:
1. Diskusikanlah kasus taborsi tersebut dalam HG dengan mengacu kepada lingkup subpokok bahasan dan Pokok Bahasan I. Dan II.
2. Buatlah laporan kelompok dalam bentuk makalah dan power point untuk dipresentasikan di depan kelas.

Daftar Pustaka
Abineno, J.L.Ch. 1989. Pokok-pokok Penting dari Iman Kristen. Jakarta: BPK
Gunung Mulia.
Barbour, Ian G. 1996. Religion in an Age of Science. San Fransisco:
Harper San Fransisco.
Barbour, Ian G. 1996. When Science Meets Religion: Enemies, Strangers, or
Partner? San Fransisco: Harper San Fransisco.
Barbour, Ian G. 2002. Juru Bicara Tuhan: antara Sains dan Agama. Bandung:
Penerbit Mizan.
Becker, Dieter. 1996. Pedoman Dogmatika: Suatu Kompendium Singkat. Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
Bertens, K. 2001. Etika. Jakarta: Unika Atma Jaya.
Brown, Collin. 1994. Filsafat dan Iman Kristen. Jakarta: Lembaga Reformed
Injili Indonesia.
Brownlee, Malcolm. 2000. Pengambilan Keputusan Etis dan Faktor-faktor di
dalamnya. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Darmaputra, Eka. 2000. Etika Sederhana untuk Semua. Jakarta:
BPK Gunung Mulia.
Enns, Paul. 2006. The Moody Handbook of Theology: Buku Pengantar Teologi.
(terj.) Malang: Literatur SAAT.
Hadiwardojo, Al. Purwa. 1990. Moral dan Masalahnya. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Hadiwiyono, Harun. 1990. Iman Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Herlianto. 1997. Urbanaisasi, Pembangunan dan Kerusuhan Kota. Bandung:
Penerbit Alumni.
Kobong, Th. 2004. Iman dan Kebudayaan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Kiesser, Bernhard. 1989. Moral Sosial. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Leahy, Louis. 1985. Aliran-aliran Besar Ateisme: Tinjauan Kritis. Yogyakarta
dan Yogyakarta: Penerbit Kanisius dan BPK Gunung Mulia.
Leahy, Louis. 1997. Sains dan Agama dalam Konteks Masa Kini. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius.
Milne, Bruce. 2003. Mengenali Kebenaran. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Naisbitt, J., N. Naisbitt, D. Philips. 2001. High Tech High Touch: Technology and
Our Serch for Meaning. Mizan Media Utama.
Niebuhr, Reinhold. 1944. The Children of Light and the Children of Darkness: A
Vindication of Democracy and ACritique of Its Traditional Defense. New York: Charles Scribner’s Sos.
Ryrie, Charles.1986. Teologi Dasar I: Panduan Populer untuk Memahami
Kebenaran Allah. Yogyakarta: Yayasan Penerbit ANDI.
Sitompul, A.A. 2000. Manusia dan Budaya. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Supardan, M.A. 1991. Ilmu, Teknologi, dan Etika. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Susabda, Yakub B. 2002. Mengenal dan Bergaul dengan Allah: Suatu Refleksi
Iman Kristen pada Allah yang Hidup di dalam Tuhan Yesus Kristus. Batam: Gospel Press.
Susabda, Yakub B. 1987. Seri Pengantar Teologi Modern I. Jakarta: Lembaga
Reformed Injili Indonesia.
Susabda, Yakub B. 1987. Seri Pengantar Teologi Modern II. Jakarta: Lembaga
Reformed Injili Indonesia.
Stot, John. 1994. Isu-isu Global Menantang Kepemimpinan Kristiani: Penilaian
atas Masalah Sosial dan Moral Kontemporer. Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih.
Tong, Stephen. 1996. Iman, Rasio, dan Kebenaran. Jakarta: Institut Reformed dan Stephen Tong Evangelistic Ministries International.
Weber, Max. The Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism. New York:
Charles Scribner’s Sons, 1958.
Yahya, Harun. Runtuhnya Teori Evolusi dalam 20 Pertanyaan. Surabaya: Risalah Gusti, 2003.









BAB IV
EVALUASI


Evaluasi MPK Agama Kristen akan dilakukan pada proses diskusi, kehadiran (presensi), presentasi mandiri, hasil Ujian Tengah Semester, hasil Ujian Akhir semester, laporan tugas mandiri (LTM), dan laporan kelompok (Makalah).


NILAI AKHIR = (20% x UTS) + (20% x UAS) + (12% x Laporan Tugas Mandiri) + (4% x Partisipasi Diskusi) + (14% x Presentasi Mandiri) + (10% x Makalah Kelompok) + (10% x Perilaku Moral di Kelas) + (10% x Presensi)